Monday, July 4, 2011

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM

Page 1
BAB II
MADRASAH PADA MASA KLASIK ISLAM
A. Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Lahirnya Madrasah
Berbicara mengenai lembaga pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari
pandangan atau konsep Islam itu sendiri mengenai pendidikan. Pendidikan Islam
merupakan wujud dari pengaruh berbagai kebudayaan atau peradaban yang pernah ada
dalam sejarah. Namun demikian para ahli pendidikan Islam biasanya berpandangan
bahwa pendidikan Islam memiliki karakter dan tujuannya sendiri yang khas, karena ia
didasarkan kepada tujuan yang bersifat metafisis-transendental, yaitu untuk mencapai
keridlaan Allah SWT, di dunia dan akhirat.
Karena itu, kendatipun ilmu pengetahuan menempati kedudukan yang tinggi dan
terhormat di dalam konsep pendidikan Islam, tetapi ilmu pengetahuan itu bukanlah tujuan
dalam dirinya sendiri. Tujuan ilmu pengetahuan digariskan berdasarkan tuntunan wahyu,
sebab ilmu pengetahuan itu sendiri berasal dari wahyu (baca: Allah SWT). Ilmu
pengetahuan memperoleh maknanya yang hakiki jika ia mampu menghantarkan manusia
(penuntut ilmu) kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada
Allah, dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlaqul karimah). Karena itu akhlak
menempati posisi penting, bahkan sentral dalam pendidikan Islam. Hal ini merupakan
kelanjutan logis dari pernyataan Nabi Saw. sendiri bahwa beliau diutus membawa agama
Islam ke dunia ini untuk menyempurnaan keluhuran akhlak budi manusia.
Jika demikian, pendidikan dalam Islam merupakan sarana untuk menuju ke arah
penyempurnaan akhlak budi. Dengan kata lain, pendidikan dalam Islam adalah fungsi
untuk mencapai keluhuran akhlak budi, sedangkan lembaga pendidikan adalah aspek
material untuk menjalankan fungsi tersebut. Pendidikan adalah substansinya, sedangkan
lembaga pendidikan adalah institusi atau pranatanya yang telah terbentuk secara ajeg dan
mapan di tengah-tengah masyarakat.
Di bawah ini akan dibahas lebih lanjut konsep pendidikan Islam, bagaimana pula
kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam, kemudian dirangkaikan dengan pembahasan
seputar lembaga-lembaga pendidikan yang pernah ada atau dikenal di masa-masa awal
pertumbuhan dan perkembangan agama Islam, terutama sebelum berdirinya Madrasah.
1. KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
Istilah pendidikan Islam dapat dipahami dari tiga sudut pandang, yaitu: (a)
pendidikan agama Islam (b) pendidikan dalam Islam (c) pendidikan menurut Islam.
Dalam kerangka akademik, ketiga sudut pandang itu harus dibedakan dengan tegas,
karena ketiganya akan melahirkan disiplin ilmu sendiri-sendiri. Pendidikan agama Islam
menunjuk kepada proses operasional dalam usaha pendidikan ajaran-ajaran agama Islam.
Pendekatan ini kelak menjadi bahan kajian dalam "Ilmu Pendidikan Islam Teoretis".
________________________________________
Page 2
Pendidikan dalam Islam bersifat sosio-historis, dan menjadi bahan kajian dalam "Sejarah
Pendidikan Islam". Sedangkan pendidikan menurut Islam bersifat normatif, dan menjadi
bahan kajian dalam "Filsafat Pendidikan Islam".
1
Sesuai dengan judulnya, yaitu Sejarah Perkembangan Madrasah, maka seluruh
uraian dalam buku ini menggunakan pendekatan sosiohistoris. Namun demikian, khusus
di bagian ini pembahasan mengenai konsep pendidikan Islam yang akan jyta kemukakan
menggunakan pendekatan normatif yang akan memberikan landasan filosofis supaya kita
mengetahui lebih dahulu posisi kita sebagai manusia di hadapan Sang Pendidik Utama,
yaitu Allah SWT. Pada bagian-bagian lainnya kita akan tetap menggunakan pendekatan
sosio-historis atau pendekatan sejarah.
Konsep pendidikan Islam dimulai dengan konsep tentang manusia. Hal itu terlihat
dengan jelas dalam surat al-Baqarah/2 ayat 31 dan 32 yang menceritakan bagaimana
Tuhan mengajarkan kepada Adam nama-nama benda, kemudian Adam mengajarkan
nama-nama benda itu kepada para malaikat. Dua ayat itu terangkai dengan ayat
sebelumnya, ayat 30, tentang penciptaan manusia, yang selengkapnya berarti demikian:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Kemudian para malaikat menjawab,
"Apakah Engkau akan menciptakan orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau? "Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."
Begitulah Allah menciptakan manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi, dan
seluruh ciptaan lainnya tunduk kepada manusia. Dalam surat al-Baqarah ayat 31
dikisahkan bahwa setelah menciptakan Adam, Allah mengajarkan kepadanya nama-nama
benda. Allah menciptakan benda-benda itu dari tidak ada menjadi ada (Q.S., al-Baqarah/2
ayat 117); dan setiap unsur dalam ciptaan Allah memanifestasikan kekuasaan-Nya; setiap
subyek dalam ciptaan menunjukkan kualitas dan sifat-sifat Allah; setiap ciptaan adalah
ayatullah, isyarat-isyarat Allah, manifestasi kekuasaan Allah, simbol-simbol realitas.
Maka ketika Allah mengajarkan Adam tentang nama-nama benda, tujuan-Nya
bukan hanya agar ia tahu dan mengerti, tetapi juga sadar akan esensi ciptaan, sadar akan
sifat-sifat Allah dan hubungan antara Allah dan ciptaan-Nya. Integrasi kesadaran
intelektual dengan kesadaran spiritual inilah yang menjadi dasar konsepsi pendidikan
Islam sejak awal. Konsepsi pendidikan Islam dengan demikian sudah ada atau sudah
setua umur manusia itu sendiri. Konsepsi pendidikan Islam dibangun di atas dasar
metafisika, di mana hubungan antaraTuhan sebagai Pencipta dan manusia sebagai subyek
di muka bumi berada dalam suatu rangkaian orientasi religius dan kerangka etis. Manusia
dalam konsepsi pendidikan Islam akan mencapai tujuannya sebagai wakil Tuhan di muka
bumi (khalifatullah fil ardli) dan dapat menggunakan ilmu pengetahuan yang diberikan-
Nya untuk kepentingan umat manusia.
1 Tajab, et. al., Dasar-Dasar Kependidikan dalam Islam: Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan Islam,
dikutip dari Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos, 1999), h. 24-25.
________________________________________
Page 3
Kerangka religius etis inilah, menurut Imam al-Ghazali, yang menjadi ciri khas
konsep pendidikan Islam. Kendati begitu, al-Ghazali tidak bermaksud mengabaikan
masalah-masalah dunia. Hanya baginya urusan dunia dan kebahagiaannya hanya faktor
suplementer untuk mencapai kebahagiaan akhirat yang lebih utama dan abadi. Dunia
adalah ladang menuju akhirat. la merupakan tempat pengembaraan dan sarana menuju
kepada Allah, bukan tempat untuk menetap atau bertempat tinggal.
Para penganut faham humanis-sekuler mungkin akan menolak konsepsi tentang
"pengetahuan yang diwahyukan" yang menjadi dasar konsep pendidikan Islam
sebagaimana digagas oleh Imam al-Ghazali. Tetapi mereka juga sulit menyangkal bahwa
manusia pada dasarnya adalah makhluk spiritual. Konsepsi pendidikan Islam memberi
dasar yang kuat bagi spiritualitas, karena sejak awal sangat disadari bahwa Sang Pendidik
yang hakiki tidak lain adalah Sang Pencipta.
Dalam konsep Paulo Freire seorang praktisi dan teoritisi pendidikan radikal dari
Brasil, dinyatakan bahwa pendidikan yang benar adalah pendidikan yang mampu menjadi
kekuata penyadar dan pembebas manusia.
2
Artinya, pendidikan harus embebaskan dan
menyadarkan manusia tentang adanya elemen-lernen yang menindas dalam struktur
sosial.
Dalam Islam, konsepsi pendidikan sebenarnya jauh lebih radikal dari itu. Konsepsi
pendidikan Freire adalah dalam rangka hurnanisasi (manusia harus menjadi subyek).
Menjadi subyek dalam hubungannya dengan dunia adalah memberi nama ("to narne"),
dan "to name" adalah "to act" (memberi arti temporal terhadap ruang geografis dengan
menciptakan kebudayaan). Dalam Islam, "to name" (yakni ketika Allah mengajarkan
Adam nama-nama), tujuannya adalah agar ia sadar akan esensi ciptaan, esensi sifat
Tuhan, dan hubungan antara Tuhan dan ciptaan-Nya. Dan "to act"-nya adalah menjadi
wakil Tuhan di muka bumi (khalifah).
3
Karena itu, sekali lagi, konsepsi dan filosofi pendidikan Islam sejak awal tidak
hanya bersumber dari intelektualitas, melainkan juga spiritualitas. Dan dengan begitu,
tujuan akhirnya sendiri sudah ditetapkan, yaitu Tuhan, Sang Pendidik Pertama, yang
menjadi Pusat untuk mendidik, mengontrol, dan membimbing manusia. Maka tema
pemerdekaan dan pembebasan dalam konsepsi pendidikan Islam bukan hanya
berkonotasi struktural (sosial politik) sebagaimana dikehendaki oleh Freire dan para
pendukungnya, melainkan jauh lebih luas lagi. Yaitu, memotivasi semua aspek
manusiawi untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan, yang berujung pada penyerahan
diri secara mutlak kepada Allah, pada tingkat individu, masyarakat, dan kemanusiaan
pada umumnya.
4
mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dj khalifahnya di
muka bumi, atau dengan kata yang lebih singl dan sering digunakan oleh Al-Qur'an,
'untuk bertaqwa kepadanya'".
5
2 Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, edisi Indonesia Jakarta: LP3ES, 1985), h. 27.
3 Ahmad Gaus AF, "Pendidikan Yang Memerdekakan", dalam Mingguan Hikmah Jum'at No.
25/TH.VIII/1997 (Jakarta: Raudhatul Ilmi).
4 Ibid.
5 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1992), h. 173
________________________________________
Page 4
2. Kedudukan Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Islam adalah agarna yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Hal itu dapat
dilihat dari banyaknya ayat-ayat al-Qur'an maupun Hadits Nabi Muhammad Saw. yang
menyinggung mengenai tingginya kedudukan orang yang berilmu atau ilmu pengetahuan
itu sendiri di dalam Islam. Beberapa ayat al-Qur'an yang sering dikutip berkaitan dengan
itu di antaranya ialah:
Surat Az-Zumar/39 ayat 9 yang artinya "Adakah sama kedudukan orang yang berilmu
dengan orang yang tidak berilmu ?"
Surat Al-Mujadalah/58 ayat 11 yang artinya "Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orangyang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."
Surat Ali Imran/3 ayat 36 yang artinya "janganlah kamu mengikuti apa-apa yang
tentangnya kamu tidak punya pengetahuan"
Surat An-Nahl/16 ayat 125 yang artinya "Serulah kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan
nasihat yang baik."
Kata hikmah dalam surat An-Nahl di atas oleh para mufassir diterjemahkan sebagai
ilmu pengetahuan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah bahwa ketika mengajak orang
kepada kebenaran Islam, hendaknya kita menggunakan argumentasi, sebab Islam
merupakan agama yang rasional, yang lahir dalam sejarah yang nyata dan empirik, dalam
arti tidak diselimuti oleh kabut mitos maupun dongeng.
Selain ayat-ayat al-Qur'an yang dikutip di atas, dan tentu saja masih banyak ayat-
ayat yang lain, sikap, perilaku, dan ucapan-ucapan Nabi Muhammad sendiri semasa
mengemban tugas menyampaikan ajaran Islam, sangat mencerminkan kedekatan dan
penghargaan beliau kepada ilmu pengetahuan.
6
Di antara ucapan atau Hadits Nabi yang
berkenaan dengan ilmu pengetahuan adalah:
Menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi kaum Muslimin pria maupun wanita
(Hadits riwayat Ibn Abd al-Barr).
Sebaik-baik sedekah adalah apabila seorang Muslim mempelajari ilmu, kemudian
mengajarkannya pula kepada saudara-saudaranya sesama Muslim (Hadits riwayat Ibn
Majah).
Keutamaan orang-orang yang berilmu di atas orang-orang yang beribadah adalah
laksana bulan pada malam purnama di atas segala planet (Hadits riwayat Abu Na'am).
Iman itu telanjang, pakaiannya adalah taqwa, perhiasannya adalah malu, dan
6
Lihat misalnya, Yusuf al-Qardhawi, Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991).
________________________________________
Page 5
buahnya adalah ilmu (Hadits riwayat Bukhari).
Orang-orang yang berilmu adalah pewaris para Nabi (Hadits riwayat Al-Khatib).
Sebagaimana diketahui bahwa pada awal munculnya Islam hanya ada 17 orang
suku Quraisy yang pandai baca tulis. Maka Nabi Muhammad Saw, menganjurkan
pengikut-pengikutnya untuk belajar membaca dan menulis, sebagai kunci ilmu
pengetahuan. Tak terkecuali 'Aisyah, istrinya, pun belajar membaca dan menulis. Juga
anak angkatnya Zaid ibn Tsabit disuruhnya belajar tulisan Ibrani dan Suryani. Budak-
budak belian dan tawanan perang pun dibebaskan dengan syarat mereka sanggup
mengajar membaca dan menulis kepada sepuluh orang Muslim.
7
Dalam perang Badar banyak penduduk Makkah yang jatuh ke dalam tawanan kaum
Muslimin.Para tawanan itu telah diperintahkan oleh Rasulullah untuk mengajari baca-
tulis kepada orang-orang Islam, sebagai penebus diri mereka. Semua itu menunjukkan
perhatian Nabi Muhammad Saw., yang sangat tinggi kepada ilmu pengetahuan sebagai
pelaksanaan dari perintah Allah SWT. Dalam suratThaha/20 ayat 114 dinyatakan bahwa
Nabi Muhammad meskipun telah mencapai puncak segala puncak masih tetap
diperintahkan selalu berdoa dan berusaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Dari penjelasan di atas tampak bahwa Al-Qur'an tidak hanya menekankan
pentingnya belajar, tapi juga pentingnya mengajar. Dalam surat al-'Ashr ditegaskan
bahwa semua orang merugi kecuali yang melaksanakan empat hal, salah satunya ialah
saling wasiat-mewasiati (ajar-mengajar) tentang al-haqq (kebenaran). Ilmu pengetahuan
adalah kebenaran. Rugilah orang yang tidak mengajarkan kebenaran yang diketahuinya.
8
Berbagai keterangan baik dari Al-Qur'an maupun Hadits Nabi berkenaan dengan
pentingnya ilmu pengetahuan, menjadi semacam penopang bagi umat Islam untuk
mengembangkan dan merintis ilmu-ilmu pengetahuan yang kelak menjadi sendi
bangunan peradaban, baik yang muncul di dunia Islam (zaman Abbasiyah) maupun yang
kelak dilanjutkan di dunia Barat. Berkaitan dengan ini, menarik pernyataan S.I.
Poeradisastra bahwa, ilmu pengetahuan dan teknologi modern lahir dari kandungan
Islam. Islamlah yang menemukan metoda ilmiah, yakni metoda empirik induktif dan
percobaan yang menjadi kunci pembuka rahasia-rahasia alam semesta, yang menjadi
perintis modernisasi Eropa dan Amerika.
9
3. Lembaga Pendidikan Islam di Masa Awal
Sejak Nabi Muhammad Saw., mendapat wahyu dari, SWT, ayat-ayat al-Qur'an dan
penafsirannya merupakan mate pengajaran yang sangat penting. Karena itu, beliau melal
tugasnya disetiap kesempatan yang memungkinkan baginya untuk menyampaikan
risalahnya. Nabi Saw., ketika itu memar menghadapi kenyataan bahwa risalah yang akan
7 S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern (Jakarta: P3M, 1981),
h. 8.
8 M. Quraish Shihab, op. cit., h. 178.
9 S.I. Poeradisastra, op. cit., h. 7.
________________________________________
Page 6
disampaikan terhadang oleh adat-istiadat dan kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah
kaumnya, yang dalam banyak hal bahkan bertentanga dengan wahyu yang diterimanya
dari Allah SWT.
Nabi Saw., akhirnya menyusun strategi. Pertama-tama beliau menyampaikan
dakwahnya secara sembunyi-sembunyi. Ada kalanya beliau menyampaikan dakwah di
perjalanan, tapi kerapkali juga dikediamannya; adakalanya dakwah Islam disampaikan
kepada orang perorangan, tapi kalau situasj memungkinkan beliau juga tampil di hadapan
jamaah. Orang yang pertamakali menyambut seruan Nabi Saw., adalah istri beliaul
sendiri, Siti Khadijah, kemudian disusul oleh Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Shidiq,
kemudian beliau menyeru yang lainnya kepada Islam. Dakwah secara sembunyi-
sembunyi (sirriyah) ini berlangsung selama tiga tahun.
Pada periode ini, Nabi Saw. menggunakan Darul Arqam (rumah kediaman sahabat,
al-Arqam bin Abi Al-Arqam r.a.) sebagai tempat pertemuan dengan para sahabatnya.
Praktek belajar-mengajar yang dilakukan Nabi Saw. ketika itu, menurut Muhammad
Raf'at Sa'id, betul-betul sudah terorganisir dengan rapi, sesuai dengan target yang hendak
dicapai terhadap peserta didik. Jadi bukan hanya sekadar pemahaman, hafalan, dan
pelaksanaan, tetapi lebih dari itu untuk melahirkan kader-kader pendidik.
10
Karena itu
setelah tiga tahun digembleng secara sembunyi-sembunyi, maka di masa-masa berikutnya
para sahabat itu sudah tumbuh menjadi kader-kader pendidik andalan Nabi Saw., yang
kelak mendampingi beliau dalam menyampaikan risalah Islam secara terang-terangan.
Mencermati proses belajar-mengajar yang berlangsung di Darul Arqam, yang
menurut Said sudah berlangsung secara sistematis, dan telah menggariskan tujuannya
dengan jelas, yaitu mendidik kader, maka kiranya tidak berlebihan jika Said berpendapat
bahwa Darul Arqam itulah yang merupakan "lembaga pendidikan Islam" pertama yang
diselenggarakan di kota Mekkah.
11
Tetapi tentu saja Darul Arqam tidak bisa dikatakan
sebagai lembaga pendidikan Islam dalam arti yang sebenarnya, sebab yang disebut
lembaga tentunya keberadaannya telah mapan dan mantap di tengah-tengah masyarakat,
padahal Darul Arqam hanya merupakan rumah seorang sahabat bernama al-Arqam bin
Abi al-Arqam r.a. yang digunakan oleh Nabi Saw., untuk menyampaikan ayat-ayat al-
Qur'an dan mengajarkan agama kepada para pengikutnya, ketika situasinya tidak
memungkinkan untuk menyampakan hal tersebut di muka umum.
Bahkan ketika Nabi Saw., mulai melakukan dakwahnya secara terang-terangan,
sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al-Hijr ayat 94, apa yang disebut Lembaga
Pendidikan Islam dalam arti formal belum tumbuh secara ajeg. Alasannya karena kaum
Muslim pengikut Nabi yang jumlahnya belum banyak ketika itu kerapkali menghadapi
berbagai macam siksaan dari orang-orang kafir Quraisy.
10 Muhammad Ra'fat Said, Rasulullah SAW. Profil Seorang Pendidik: Methodologi Pendidikan dan
Pengajarannya, esidi Indonesia Jakarta: Firdaus, 1994), h. 93. Sebenarnya Said menggunakan istilah
"madrasah", tetapi sebagaimana kita tahu bahwa lembaga pendidikan model madrasah di dunia Islam belum
ada pada zaman Nabi dan para sahabat, madrasah baru lahir pada abad ke-4 H.
11 Ibid.,h. 108.
________________________________________
Page 7
Lembaga pendidikan Islam yang bersifat semi-formal atau hampir mendekati ciri-
ciri sebuah lembaga formal, karena memiliki metodologi pengajaran dan jadwal yang
tetap, baru tumbuh seiring dengan perkembangan dakwah Islam yang mulai memperoleh
sambutan relatif luas, yaitu di Madinah.
Di antara para sahabat Nabi yang memeluk Islam setelah Khadijah, Ali bin Abi
Thalib, dan Abu Bakar Shiddiq, ialah Zaid bin Haritsah, Utsman bin Affan, Zubair bin
Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqas, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidilah, Arqam
bin Abi al-Arqam, Abu Ubaidillah bin Jarrah, Fatimah binti Khattab dan suaminya Sa'id
bin Zaid, dan beberapa sahabat lainnya. Merekalah "murid-murid" Nabi Saw., pertama
yang memperoleh pendidikan di Darul Arqam. Mereka pula yang menjadi guru-guru
pertama, setelah Nabi Saw. sendiri, dalam sejarah Islam.
Dengan merekalah biasanya Nabi Saw. menetapkan waktu-waktu tertentu untuk
mengadakan pertemuan dalam rangka menyampaikan pelajaran di rumah-rumah para
sahabat secara bergantian. Itulah yang dikenal dengan majlis atau lingkaran-lingkaran
belajar (halaqah dars). Dengan kata lain, majlis atau halaqah merupakan perkembangan
berikutnya dari lembaga pendidikan Islam yang mulai menampakkan sosoknya dengan
jelas, meskipun belum permanen.
Ketika jumlah kaum Muslimin ini mulai banyak, kebutuhan untuk belajar membaca
dan menulis muncul sejalan dengan kebutuhan kaum Muslim untuk memahami dan
mendalami ayat-ayat al-Qur'an. Maka pada fase berikutnya muncullah apa yang
kemudian dikenal sebagai kuttab, sebuah lembaga pengajaran al-Qur'an untuk tingkat
dasar. Di samping itu, rumah terutama rumah orang alim juga digunakan sebagai tempat
belajar.
Dan ketika masjid mulai didirikan, umat Islam tidak menyia-nyiakannya begitu
saja. Masjid juga digunakan untuk proses belajar mengajar. Ruangan mesjid pun segera
dimanfaatkan sebagai tempat berlangsungnya halaqah-halaqah al-dras.
Dalam perjalanan sejarah Islam yang panjang itu, para peneliti sejarah pendidikan
Islam mencatat nama-nama lembaga pendidikan yang pernah muncul dalam sejarah Islam
di masa Idasik dan telah memberi jasa besar bagi perkembangan intelektual dalam Islam.
Lembaga-lembaga pendidikan itu di antaranya adalah seperti Dar al-Hikmah, al-Khanat,
al-Bimaristan, ar-Ribath, dan lain-lain. Dalam perkembangannya, akhirnya muncul
lembaga pendidikan yang tertata rapih dan proses pendidikan dan pengajarannya
berlangsung secara lebih sistematis. Inilah yang disebut Madrasah, lembaga pendidikan
yang dapat dikatakan sebagai puncak dari perkembangan lembaga pendidikan, tempat
proses belajar-mengajar berlangsung dalam Islam.
Secara sepintas, lembaga-lembaga pendidikan yang pernah muncul mendahului
berdirinya Madrasah dalam sejarah Islam itu akan dijelaskan satu persatu secara
berurutan, sedangkan mengenai Madrasah akan dijelaskan pada bagian tersendiri.
________________________________________
Page 8
a. Masjid
Secara harfiah, "masjid" berarti "tempat sujud", dari akar kata "sajada" yang artinya
"bersujud". Dalam sejarah Islam, masjid memiliki fungsi yang sangat luas, bukan hanya
tempat bersujud dalam arti ibadah semata seperti shalat dan i'tikaf, tetapi juga berfungsi
sebagai tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar. Ketika Nabi Saw. hijrah dari
Mekah ke Madinah, yang pertama beliau bangun adalah masjid, yaitu masjid Quba'
ketika beliau masih dalam perjalanan dan Masjid Nabawi ketika beliau telah tiba di
madinah. Nabi Saw. tampaknya sangat menyadari bahwa masjid akan menjadi modal
utama dalam melanjutkan misi dakwahnya di Madinah, untuk membangun masyarakat
yang beradab.
Masjid Nabawi merupakan tonggak sejarah amat penting bagi umat Islam. Di
Masjid Nabawi itulah Nabi Saw. melaksanakan seluruh misi beliau dari mulai mengajar,
latihan militer, diplomasi, musyawarah, dan seterusnya.
12
Dengan kata lain, Nabi Saw.
telah mencontohkan bagaimana sebuah masjid bisa bersifat multifungsi dan menjadi
bagian penting dari pranata masyarakat Islam. Bahkan pada masa-masa lebih
belakangan, ketika ruangan masjid tidak lagi memadai untuk kebutuhan kegiatan-
kegiatan yang semakin beragam itu, maka untuk kebutuhan itu kaum muslimin
mendirikan bangunan-bangunan tambahan di samping masjid, seperti lembaga
pendidikan, termasuk di antaranya Madrasah, sebagaimana akan kita bahas berikut.
Sejalan dengan penyebaran agama Islam ke seluruh negeri Arab, maka
pembangunan masjid pun menyebar ke berbagai pelosok negeri tersebut. Sama dengan
Masjid Nabawi yang dibangun oleh Rasululah dan para sahabat di Madinah, masjid yang
tersebar di berbagai pelosok itu pun difungsikan untuk berbagai kegiatan keislaman dari
mulai belajar sampai musya-warah, di samping fungsi utamanya sebagai tempat
beribadah. Kegiatan belajar-mengajar yang begitu menonjol di dalam masjid merupakan
akibat logis dari banyaknya para penuntut ilmu atau pelajar yang haus pengetahuan.
Asma Hasan Fahmi membagi para pelajar itu ke dalam dua kategori.
13
Pertama, murid-murid yang terdaftar di situ untuk belajar. Mereka ini senantiasa
belajar di sana sampai mereka menamatkan pelajaran dan memperoleh ijazah dari guru.
Mereka belajar di sana sepanjang hari untuk beberapa tahun. Kedua, pelajar-pelajar
pendengar yang tidak terdaftar (mustami'). Mereka ini pergi ke sana untuk mendengar
beberapa mata pelajaran, seperti orang yang pergi mendengar ceramah umum tanpa
terikat dengan kurikulum pelajaran tertentu.
Cara belajar di dalam masjid itu tergolong unik bila dilihat dari kacamata sekarang.
Para guru atau pengajar mengambil tempat tersendiri di dalam ruangan masjid. Para
murid duduk di atas lantai atau tikar mengelilingi sang guru, sehingga terciptalah
lingkaran-lingkaran atau halaqah. Banyaknya halaqah di dalam suatu; masjid tergantung
pada besarnya masjid. Semakin besar sebuah masjid biasanya semakin banyak terdapat
12 Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam(Jakarta: Paramadina, 1997), h. 34.
13 Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Fihafat Pendidikan Islam, edisi Indonesia (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979),h. 35-36.
________________________________________
Page 9
halaqah di dalamnya. Masjid yang besar biasa disebut Jami', karena digunakan untuk
shalat Jum'at. Selain berfungsi sebagai tempat beribadah tersebut, masjid dan jami' juga
digunakan untuk penyelenggaraan pendidikan Islam.
Berbeda dengan masa tumbuhnya kuttab baik di dalam maupun di luar masjid, para
pengajar dalam sistern halaqah ini dalam perkembanganya mulai ada yang memperoleh
gaji yang diambil dari harta wakaf yang diserahkan kepada dan dikelola oleh pengurus
masjid. Meskipun demikian ada juga pengajar yang tidak mau menerima gaji, mereka
hanya mengharapkan pahala dari Allah SWT. Sementara itu, para pelajar tidak dipungut
bayaran, bahkan dalam banyak hal mereka mendapat hadiah atau pemberian. Memang
ada beberapa masjid yang memungut bayaran dari siswa sebagai biaya pendidikan,
misalnya masjid-masjid di Andalus di awal masa Islamnya. Hal ini bisa dipahami karena
menurut suatu pendapat di negeri Andalus masjid merupakan satu-satunya lembaga
pendidikan dan pengembangan ilmu. Negeri itu pada masa itu tidak mengenal Madrasah,
duwar al-'ilm, dan lembaga-lembaga pendidikan formal lainnya.
14
Akan halnya harta wakaf yang diserahkan kepada masjid yang kemudian dikelola
untuk biaya pendidikan, biasanya berasal dari umat Islam sendiri dan orang-orang tua
murid yang anaknya menuntut ilmu di masjid tersebut. Besarnya pemberian tidak
ditentukan, karena memang bukan dimaksudkan sebagai biaya administrasi pendidikan.
Meskipun terdapat penguasa yang menafkahkan hartanya untuk biaya pendidikan di
masjid, tetapi sifatnya tidak mengikat, karena masjid tidak memiliki sangkut paut dengan
kekuasaan. Terlepas dari tidak adanya hubungan langsung antara masjid dengan
kekuasaan, karena masjid merupakan tempat pendidikan, maka tidak jarang para
penguasa merekrut pegawai dari masjid untuk dipekerjakan di kantor pemerintahan.
Melihat antusiasme umat Islam dalam memanfaatkan masjid sebagai tempat untuk
menuntut ilmu, ditambah lagi dengan pesatnya pembangunan masjid-masjid baik yang
dibangun secara swadaya oleh masyarakat maupun yang dibangun oleh penguasa, maka
bisa dimengerti kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa masjid merupakan simbol
kejayaan pendidikan Islam sejak masa Nabi Saw., sampai dua abad berikutnya.
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa dalam perkembangannya selama dua abad
pertama setelah kebangkitan Islam, masjid hanya menjadi tempat untuk belajar ilmu-ilmu
agama. Pengajaran ilmu pengetahuan umum dan filsafat di dalam masjid, sebagaimana
telah dijelaskan di bagian terdahulu, telah menim-bulkan konflik atau pertentangan
pendapat. Adanya pandangan yang ingin membebaskan masjid dari beban-beban
"sekuler" itu, menambah sulit untuk mencari titik temu antara tujuan pendidikan dengan
tujuan agama. Ditambah lagi alasan bahwa kian semaraknya pendidikan yang
diselenggarakan di masjid, membuat masjid menjadi hiruk-pikuk, sehingga mengganggu
ketenangan dan kekhusukan orang beribadah. Alasan inilah yang kemudian melahirkan
gagasan mendirikan lembaga pendidikan di luar masjid yang bisa dimanfaatkan untuk
mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Lembaga pendidikan dimaksud di antaranya
adalah Madrasah.
14 Ibid.,h. 37
________________________________________
Page 10
b. Kuttab
Kuttab secara harfiah berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis. Tapi
secara istilah kuttab berarti tempat untuk belajar menulis dan membaca pada tingkat
dasar. Para sahabat Nabi Saw., yang pandai baca tulis memanfaatkan lembaga kuttab itu
untuk keperluan mengajarkan ketrampilan menulis dan membaca ayat-ayat al-Qur'an
kepada anak-anak. Dengan demikian, kuttab di masa awal Islam oleh para sahabat
dimanfaatkan untuk mengajarkan tulis baca ayat-ayat al-Qur'an. Dalam kisah diceritakan
bahwa Rasullulah SAW. memerintahkan Al-Hakam bin Said untuk mengajarkan al-
Quran dan tulis baca pada sebuah kuttab di Madinah. Ini menunjukkan bahwa lembaga
pendidikan jenis kuttab ini telah menjadi perhatian Rasulullah untuk menunjang
keberhasilan dakwahnya.
Pendidikan jenis kuttab ini pada mulanya diadakan di rumah-rumah guru. Setelah
Nabi Saw. dan para sahabat membangun masjid, barulah ada kuttab yang didirikan di
samping masjid. Selain itu ada juga kuttab yang didirikan terpisah dari masjid. Masa
belajar di kuttab tidak ditentukan, bergantung kepada keadaan si anak. Anak yang cerdas
dan rajin, akan lebih cepat menamatkan pelajarannya. Sebaliknya anak yang malas akan
memakan waktu yang lama untuk menamatkan pelajarannya. Sistem pengajaran di kuttab
ketika itu tidak berkelas. Para murid biasanya duduk bersila dan berkeliling menghadap
guru.
Perkembangan lembaga pendidikan jenis kuttab ini sejalan dengan perkembangan
dan penyebaran agama Islam. Pada akhir abad pertama Hijriyah mulai berdiri kuttab-
kuttab yang tidak hanya mengajarkan tulis-baca al-Qur'an tapi juga pokok-pokok ajaran
agama. Kuttab jenis ini sebenarnya merupakan perkembangan dari proses belajar-
mengajar di masjid yang sifatnya umum (bukan hanya untuk anak-anak tapi juga untuk
orang dewasa, dan tidak hanya mengajarkan baca-tulis al-Quran namun juga ajaran-
ajaran Islam). Tapi karena anak-anak tidak bisa menjaga kebersihan dan kesucian masjid
maka kemudian mereka dilokalisir di tempat yang khusus di samping masjid dengan
materi pengajaran yang sama, yaitu pokok-pokok ajaran Islam. Sejak itu berkembanglah
kuttab menjadi lembaga pendidikan Islam yang bersifat formal.
Sampai pada abad ke-2 H, lembaga kuttab ini semakin banyak didirikan oleh kaum
Muslimin atas prakarsa mereka sendiri, dalam arti lepas dari campur tangan pemerintah.
Di masa ini pula kuttab tersebar merata di setiap negeri, sehingga karakteristik kuttab
sebagai lembaga pendidikan yang terbuka sangat menonjol, dalam arti siapa saja bisa
memanfaatkannya sebagai sarana untuk menimba ilmu pengetahuan Islam. Orang kaya
dan miskin mempunyai kesempatan yang sama untuk belajar di kuttab. Hal ini terjadi
karena kuttab tidak dikomersialisasikan. Para pengajar pun pada umumnya tidak mencari
penghidupan di kuttab, mereka mengajar secara ikhlas. Memang ada di antara mereka
yang menerima upah, tapi umumnya tidak seberapa memberatkan.
Singkatnya, pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan model kuttab
mengalami kemajuan pesat karena didukung oleh semangat kaum Muslim dalam
menyebarkan agama Islam. Sejarah mencatat bahwa tradisi tulis baca di kalangan kaum
________________________________________
Page 11
Muslim yang ditanamkan melalui kuttab ini telah berjasa dalam mentransfer berbagai
ilmu pengetahuan sehingga generasi Islam berikutnya dapat mengenal ajaran-ajaran Islam
secara lebih baik.
c. Rumah Ulama
Di masa awal perkembangan agama Islam, rumah orang alim telah digunakan untuk
belajar agama. Di masa Nabi Saw. menyampaikan risalah Islam, rumah para sahabat
sering digunakan oleh Nabi untuk berkumpul dalam rangka menga-jarkan Islam. Rumah
juga menjadi tempat menyampaikan ajaran Islam secara relatif aman, terutama dalam tiga
tahun pertama dakwah Nabi, karena kondisi saat itu belum memungkinkan untuk
berdakwah secara terang-terangan.
Kedengarannya memang agak musykil untuk memasukkan atau menganggap rumah
sebagai lembaga pendidikan. Tetapi dalam banyak hal, rumah justru menjadi lembaga
pendidikan alternatif ketika di lembaga lain proses pendidikan tidak bisa dilaksanakan
karena satu dan lain hal. Alasan keamanan seperti yang terjadi di masa Nabi dan para
sahabat, sehingga mereka menggunakan rumah untuk sarana pendidikan, hanya satu
contoh saja. Contoh lainnya cukup banyak dibeberkan dalam sejarah. Misalnya, ketika
muncul dikotomi ilmu-ilmu agama dengan pengetahuan umum, dan mulai muncul
kecenderungan untuk memusuhi bahkan melarang pengetahuan umum diajarkan di
lembaga pendidikan yang terbuka, maka rumah ulama menjadi rumpuan harapan.
Hal itu terjadi, misalnya, pada kasus ditutupnya lembaga-lembaga pendidikan yang
mengajarkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Apakah kemudian filsafat dan ilmu
pengetahuan menjadi mati di dunia Islam? Ternyata tidak. Sebab orang-orang yang
menghargai ilmu pengetahuan, apapun jenisnya, tetap mempelajari dan menekuni ilmu
tersebut meskipun harus secara sembunyi-sembunyi, yaitu di rumah-rumah ulama yang
bersedia untuk mengajarkannya kepada mereka.
Tatkala lembaga-lembaga pendidikan sedikit atau banyak diintervensi oleh
penguasa, kesempatan yang tersedia untuk belajar dan mengajar di lembaga pendidikan
tidak selalu sama. Bisa terjadi seorang ulama tidak diperkenankan mengajar di lembaga-
lembaga pendidikan yang terbuka, baik karena perbe-daan faham keagamaan maupun
karena persoalan politik. Maka pada saat itulah sang ulama menjadikan rumah
kediamannya sendiri sebagai lembaga pendidikan.
Masih banyak contoh lain bisa disebut. Tapi itu saja sudah cukup untuk
membuktikan bahwa rumah pada masanya telah memainkan peranan yang tidak kecil
dalam proses belajar-mengajar dan bahkan memelihara tradisi keilmuan. Bisa
dibayangkan kalau "kematian" filsafat dan ilmu pengetahuan umum di lembaga-lembaga
pendidikan terbuka tidak "dihidup-kan" lagi oleh para ulama yang mengajarkannya di
rumah-rumah mereka. Hal itu menunjukkan bahwa rumah ulama telah menjadi lembaga
pendidikan tersendiri dalam sejarah Islam, terlepas dari berbagai keterbatasannya.
________________________________________
Page 12
d. Halaqah al-dars
Halaqah al-dars (biasa disebut halaqah saja) atau "lingkaran belajar", termasuk
lembaga pendidikan Islam yang cukup dikenal sebelum lahirnya adrasah. Sebagian ahli
bahkan mengatakan; bahwa halaqah masih ada dan dilangsungkan meskipun Madrasah.
telah bermunculan di dunia Islam. Malah ada yang mengatakan bahwa Halaqah al-dars
juga sering dilangsungkan di Madrasah.
Sebelum kemunculan Madrasah, kegiatan Halaqah al-dars biasanya berlangsung di
masjid-masjid atau rumah-rumah. Karena itu ada perdebatan apakah Halaqah al-dars
cukup absah untuk disebut sebagai lembaga pendidikan, atau cukup disebut sebagai
metode pengajaran saja. Asma Hasan Fahmi tidak ragu-ragu memasukkan Halaqah al-
dars ini sebagai lembaga pendidikan. Dia beralasan bahwa pendidikan Islam sebenarnya
merupakan sesuatu yang bersifat mudah dan fleksibel.
15
Artinya, ia tidak harus
diselenggarakan di suatu tempat tertentu dan khusus, atau di sebuah bangunan yang
permanen.
Tampaknya, bagi Asma Hasan Fahmi, sepanjang sebuah majlis memenuhi kriteria
ilmiah, maka ia sudah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan. Halaqah al-dars,
menurutnya, telah memenuhi kriteria tersebut. Asma Hasan Fahmi menyatakan bahwa
diskusi-diskusi ilmiah yang diselenggarakan di rumah-rumah para ulama, istana raja-raja,
dan para pembesar adalah Halaqah al-dars yang cukup representatif. Lebih-lebih lagi
apabila diskusi-diskusi itu juga menghadirkan orang-orang ternama dan para pemuka
masyarakat seperti kalangan ulama, sastrawan, ahli logika, dokter, dan lain-lain.
Perbedaan antara Halaqah al-dars dengan "rumah ulama" yang dijadikan sebagai
lembaga pendidikan adalah bahwa "rumah ulama" lebih bermuatan pengajaran, dalam arti
bahwa di situ ada murid yang belajar, dan ada guru atau pemilik rumah yang mengajar.
Sedangkan Halaqah al-dars lebih merupakan pertemuan ilmiah antara orang-orang
pandai. Asma Hasan Fahmi menyebut contoh bagaimana kedudukan ilmu manthiq
diperdebatkan secara berbobot dalam suatu Halaqah al-dars yang dipandu oleh Ibn al-
Furat.
Dilihat dari materi pengajarannya, halaqah tidak sama dengan kuttab. Kalau kuttab
dapat dikategorikan sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar, maka halaqah dapat
disebut sebagai lembaga pendidikan tingkat lanjutan yang setingkat dengan college.
Keempat lembaga pendidikan Islam disebut di atas merupakan lembaga pendidikan
yang sangat awal dan dengan cepat sekali perkembangannya. Keempatnya sudah berdiri
dan tersebar pada masa al-Khulafa' al-Rasyidun dan Bani Umayyah. Melalui lembaga
pendidikan seperti inilah untuk pertama kalinya ilmu hadits, ilmu tafsir, dan fikih
berkembang di kalangan para sahabat, tabi'in (generasi setelah sahabat), dan atba' al-
tabi'in (generasi setelah tabi'in).
Dengan melalui empat lembaga pendidikan itu telah lahir para ulama besar Islam
15 Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, edisi Indonesia (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), h. 40.
________________________________________
Page 13
dari kalangan sahabat, tabi'in dan atba' al-tabi'in, yang merupakan cikal bakal atau yang
di masa kemudian melahirkan aliran-aliran pemikiran dalam Islam.Yang terkenal di
antaranya belangsung di kota Makkah, Madinah, Basrah, Kuffah, Damaskus, dan Fustat.
1) Di Makkah
Di antara proses belajar-mengajar atau pendidikan Islam pertama di Makkah adalah
pendidikan yang dilakukan oleh Abdullah ibn Abbas pada tahun 16 H (634 M). Dalam
menjalankan pendidikan ini, dia dibantu oleh Mu'adz ibn Jabal. Pendidikannya sendiri
berlangsung di kuttab, rumah sahabat, dan masjid. Beberapa materi pelajaran yang
diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan tersebut di antaranya adalah apa yang dewasa
ini dikenal dengan tafsir, hadits, dirayah hadits, dan sastra. Melalui lembaga pendidikan
ini telah lahir beberapa ulama terkenal, di antaranya Mujahid ibn Jabbar (ahli tafsir Al-
Qur'an), Atha' ibn Abi Rabah (yang mengembangkan pengetahuan agama lewat kitab-
kitab fiqh), dan Thawus ibn Kaisan (seorang mufti [pemberi fatwa] di Makkah).
Mereka ini dapat dikatakan sebagai ulama generasi kedua yang berjasa
mengembangkan pendidikan di Makkah pada masa berikutnya. Adapun ulama generasi
ketiga yang rerkenal adalah Sufyan ibn Uyainah dan Muslim ibn Khalid Al-Zanji. Imam
Syafi'i, pengarang kitab fiqh terkenal "al-Umm" dan pendiri mazhab Syafi'i, pernah
menimba ilmu di Makkah, sebelum belajar di Madinah.
2) Di Madinah
Lembaga pendidikan Islam di Madinah sudah ada dan berlangsung sejak Rasulullah
Saw. dan para sahabat hijrah dari Makkah ke kota yang semula bernamaYatsrib itu.
Masjid adalah salah satu yang terpenting dari lembaga yang digunakan oleh Nabi Saw.
dalam proses pendidikan tersebut. Setelah beliau wafat, fungsi masjid sebagai lembaga
pendidikan itu diteruskan oleh para sahabat. Kuttab dan rumah-rumah para sahabat pun
masih tetap digunakan untuk menyampaikan pelajaran Islam. Di antara para sahabat yang
meneruskan pendidikan Islam itu ialah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar ibn Khattab, Ali ibn
Abi Thalib, Zaid ibn Tsabit, dan Abdullah ibn Umar. Pengajaran al-Qur'an dan tafsir
berkembang pesat ditandai dengan terbitnya al-Qur'an hasil tulisan tangan para murid
yang dipimpin oleh Zaid ibn Tsabit.
Abdullah ibn Umar tampaknya sangat memusatkan pengajarannya pada bidang apa
yang kemudian dikenal dengan hadits dan fiqh karena beliau adalah ahlinya dan dianggap
sebagai pelopor mazhab Ahl al-Hadits yang berkembang pesat pada masa sesudahnya.
Setelah para sahabat dan ulama Madinah generasi pertama wafat, para pengganti mereka
yang berkecimpung di dunia pendidikan adalah Sa'ad bin Musayyab dan Urwah bin al-
Zubair bin al-A\vwan. Kemudian diteruskan oleh generasi berikutnya yaitu seorang ahli
hadits dan fiqh, yaitu ibn Syihab al-Zuhri.
________________________________________
Page 14
Kebanyakan kegiatan belajar mengajar di Madinah dilakukan di masjid-masjid,
kuttab, dan rumah-rumah sahabat, seperti masa Rasullulah.
3) Di Basrah
Seperti di Makkah dan Aladinah, proses pendidikan dan pengajaran Islam di Basrah
pertama-tama pada masa awal kebangkitan Islam memanfaatkan masjid dan rumah-
rumah ulama. Proses pendidikan dan pengajaran di Basrah itu dipelopori oleh Abu Musa
al- Asy'ari dan Anas bin Malik, atas usulan Ali bin Abi Thalib. Kedua orang ini
merupakan generasi pertama. Keduanya terkenal sebagai ahli Fiqh, Hadits dan Ilm al-
Quran. Tidak heran kalau ilmu-ilmu tersebut cukup dominan di Basrah. Dua ulama
terkenal yang pernah dibesarkan oleh Abu Musa al-Asy'ari dan Anas ibn Malik adalah
Hasan al-Basri dan Ibn Sirin, dua ulama terkenal di awal abad ke-2 H. Hasan al-Basri
disebut-sebut sebagai perintis dan pemberi jalan bagi perkembangan Mazhab Ahl Al-
Sunnah dalam bidang Ilmu Kalam. Ibn Sirin adalah seorang ahli Hadits dan Fiqh. Dia
pernah belajar secara langsung dari Zaid bin Tsabit dan Anas bin Malik.
Selain ilmu-ilmu keagamaan seperti fiqh, tafsir, dan ilmu al-Qur'an, pada masa yang
agak belakangan ilmu lain seperti sejarah, retorika, dan logika, juga banyak diajarkan di
Basrah. Proses pendidikan dan pengajaran di Basrah berkembang pesat sejalan dengan
kemajuan peradaban Islam di wilayah ArabTengah, dan banyak terpengaruh oleh
perkembangan peradaban Islam di Irak dan Mesir.
4) Di Kufah
Ketika terjadi peperangan di Kufah, Umar bin Khattab, yang ketika itu menduduki
jabatan khalifah, mengutus Ali bin Abi Thalib untuk memadamkan api peperangan di
kota tersebut dengan perdamaian. Salah satu hasil yang dicapai dalam perdamaian itu
adalah dibentuknya majlis pendidikan untuk mengajarkan agama Islam. Guru pertama
dan utama yang ditugaskan menjalankan proses pendidikan dan pengajaran itu adalah
Abdullah Ibn Mas'ud, seorang sahabat yang dikenal sebagai ahli fiqih dan ahli tafsir. Dia
sendiri memberikan mata pelajaran al-Qur'an.
Dalam menjalankan tugasnya, Abdullah bin Mas'ud ditemani oleh enam ulama
besar, yaitu: 'Alqamah, al-Aswad, Masruq, 'Ubaidah, al-Harits bin Qais dan 'Amr bin
Syurahbil. Mereka itulah yang kemudian menggantikan Abdullah Ibn Mas'ud dan
mengembangkan majlis pendidikan di Kufah. Mereka berhasil mengembangkan lembaga
pendidikan tersebut setelah mengadakan studi banding ke Madinah dan Makkah. Nama-
nama lain yang pernah terlibat dalam pendidikan di Kufah adalah Abu Musa al-Asy'ari,
Syuraih, Sya'bi, Nakha'i, Sa'id bin Zubair, Nu'man, dan Abu Hanifah.
5) Di Damaskus (Syiria)
Masih pada zaman Umar bin Khattab, ketika Islam sudah mulai mengembangkan
sayap kekuasaannya sampai ke Syria (Syam), pengajaran Al-Quran secara berkala
dimulai di mesjid-mesjid dan rumah-rumah. Itulah awal lembaga pendidikan Islam di
________________________________________
Page 15
sana. Para pengajar didatangkan oleh Umar dari Madinah. Tiga orang guru agama sudah
memainkan perananannya pada masa itu yaitu: Mu'az bin Jabal, 'Ubadah dan Abu Darda'.
Ketiga orang tersebut kemudian bersepakat mendirikan sebuah lembaga pendidikan baru
yang lebih formal untuk menampung murid yang kian hari makin bertambah. Di lembaga
baru tersebut bahan pengajaran yang pertama disampaikan adalah al-Quran. Lembaga
pendidikan serupa ini kemudian menyebar sampai ke Palestina, Maghrib dan Andalusia,
terutama setelah naiknya Bani Umayyah ke panggung politik Islam.
Setelah tiga ulama yang sekaligus merupakan guru pertama di Damaskus itu, proses
pendidikan dan pengajaran ditangani oleh ulama generasi kedua, yaitu Abu Idris al-
Khailani, Makhul al-Dimasyqi, Umar bin Abd al-'Aziz dan Razak bin Haiwah. Proses
pendidikan di Damaskus telah pula melahirkan ulama besar semisal Abdurrahman Al-
Auza'iy yang dinilai oleh banyak ulama mutakhir bahwa ilmunya sederajat dengan Imam
Malik dan Abu Hanifah. Mazhabnya tersebar sampai ke Andalusia walau kemudian
padam akibat pengaruh Mazhab Syafi'i dan Maliki.
6) Di Fustat (Mesir)
Proses pendidikan dan pengajaran Islam di Mesir dimulai oleh Abdullah bin 'Amr
bin al-'Ash, pahlawan Islam yang menaklukan negeri Mesir pada masa khalifah Umar bin
Khath-thab. Proses pendidikan dan pengajaran ini semakin intensif setelah Mesir
mengalami islamisasi dan masjid-masjid mulai banyak didirikan. Lebih-lebih lagi setelah
Mesir menjadi propinsi negara Islam yang berpusat di Madinah. Ibukotanya ketika itu
adalah Fustat, sebuah kota baru yang dibangun tentara Islam di pinggiran Mesir.
Sekarang kota itu lebih dikenal sebagai Mesir Lama (Kuno).
Setelah beberapa lama Abdullah bin 'Amr al-'Ash menjalankan tugasnya, datang
seorang ulama yang ikut berpartisipasi dalam proses pendidikan dan pengajaran di
masjid-masjid. Ulama tersebut adalah Yazid bin Abi Habib al-Nubi, yang ahli dalam
bidang fiqh. Keahliannya itu sangat dirasakan manfaatnya karena pada saat itu dalam
masyarakat telah banyak muncul persoalan yang berkaitan dengan hukum. Yazid dibantu
oleh guru yang datang kemudian yaitu Abdullah bin Abi Ja'far bin Rabi'ah yang ikut pula
memberikan pelajaran tentang ilmu sastra dan ilrnu sosial. Menurut al-Qatiri, pendidikan
dan pengajaran yang berlangsung di masjid-masjid itu merupakan awal dari proses
terbentuknya kuttab dan halaqah di Mesir.
Seperti diketahui, universitas Islam Al-Azhar yang didirikan pada tahun 970 M di
Kairo berawal dari sebuah mesjid yang dibangun oleh Jauhar al-Katib al-Siqilli, seorang
panglima perang Dinasti Fatimiyah. Belakangan, mesjid ini dikembangkan untuk tempat
melakukan propaganda ajaran Syi'ah dan lambang kepemimpinan spiritual umat Islam.
Karena banyaknya orang yang belajar dan ingin berdiskusi ke masjid ini maka fungsinya
kemudian diperbesar.
4. Lembaga Pendidikan di Masa Abbasiyah sebelum Lahir-nya Madrasah
Keempat bentuk lembaga pendidikan Islam yang mulai tumbuh dan berkembang di
________________________________________
Page 16
masa awal Islam, yaitu pada masa al-Khulafa' al-Rasyidun dan Bani Umayyah, tersebut
di atas itu terus berkembang dan berlanjut pada masa-masa sesudah, bahkan masih dapat
dilihat dan diamati pada sekarang ini. Namun, pada masa Abbasiyah (750 - 1258 M)
lembaga-lembaga pendidikan Islam semakin berkembang dan muncul dalam bentuk yang
semakin beragam. Hal itu sejalan dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan
Islam, menyusul keberhasilan gerakan penerjemahan yang sangat menentukan
perkembangan ilmu-ilmu rasional dalam Islam. Sebelum berdirinya Madrasah, puncak
perkembangan lembaga pendidikan dalam Islam, pada masa Bani Abbas telah tumbuh
dan berkembang bentuk-bentuk baru lembaga pendidikan, di antaranya adalah daur al-
kutub (perpustakaan), observatorium dan rumah sakit, masjid khan, dan ribath. Kalau
daur al-kutub, observatorium dan rumah sakit menjadi tempat pendidikan dan pengajaran
ilmu-ilmu rasional (istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada ilmu-ilmu umum),
maka masjid khan dan ribath adalah tempat yang digunakan sebagai pusat pendidikan
dan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan Islam.
a. Daur al-Kutub (Perpustakaan)
Duwar al-kutub atau perpustakaan telah memainkan peranan sangat penting sebagai
lembaga pendidikan. Daur al-kutub bukan hanya merupakan tempat kumpulan buku, tapi
juga berfungsi sebagai sarana belajar, saling tukar informasi, dan berdiskusi. Dalam
sejarah Islam masa klasik, perpustakaan banyak didirikan baik oleh perorangan,
masyarakat, maupun oleh pemerintah.
Para khalifah, gubernur dan penguasa lokal pada masa Dinasti Abbasiyah, dalam
rangka membina pemikiran dan ilmu pengetahuan, mendirikan bangunan khusus yang
biasanya dinamakan dengan bait al-hikmah atau khiza'nah al-hikmah atau shawawin al-
hikmah. Pada dasarnya, lembaga bait al-hikmah di atas berfungsi sebagai perpustakaan
(daur al-kutub}, yang tampaknya juga aktif di sana para guru, para ilmuwan, di samp ing
aktivitas penterjemahan, penulisan naskah, dan penjilidannya.
16
Bait al-Hikmah yang pertama adalah bait al-hikmah yang didirikan oleh khalifah
Abbasiyah di Baghdad. Bait al-hikmah ini didirikan pertama kali oleh Abu Ja'far al-
Manshur (135-157 H/ 752-774 M). Aktivitasnya terus menanjak dan menjadi sangat
terkenal pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid dan al-Ma'mun, ketika lembaga ini
juga berfungsi sebagai tempat pengajaran.
Termasuk Bait al-hikmah yang terkenal adalah bait al-hikmah yang terdapat di
Qairawan. Disebutkan bahwa bait al-hikmah ini didirikan oleh Ziadatullah III al-Aghlabi
(290-296 H), gubernur Dinasti Abbasiyah yang berkedudukan di Afrika Utara. Di
lembaga bait al-hikmah di Qairawan ini terdapat perpustakaan dan tempat dilakukannya
aktivitas penterjemahan, karang mengarang, tempat pengajaran ilmu kedokteran,
apoteker, matemiatika, astronomi, ilmu ukur, ilmu tumbuh-tumbuhan, musik, dan lain
16 Hasan al-Basya, Dirasatfi al-Hadharah al-Islamiyah, (Kairo: Bar al-Nahdhah al-'Arabiyyah,
1975), h. 99; Lihat juga Abu Hasan 'Ali ibn 'Ali al-Mas'udi, Muruj al-Dzahab wa Ma'adin al-Jawhar,
Penyunting Muhammad Muhy al-Din 'Abd al-Hamid, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), h. 283.
________________________________________
Page 17
sebagainya.
17
Adapun khizanah al-hikmah, yang terkenal di antaranya adalah khizanah al-hikmah
yang didirikan oleh al-Fath bin Khaqan, menteri dari khalifah Abbasiyah, al-Mutawakkil
(232-247 H/846-861 M). Khalifah al-Mu'tadhid juga mendirikan perpustakaan-
perpustakaan dan tempat-tempat dan bangunan-bangunan di sisi jalan yang digunakan
sebagai tempat pengajaran.
Perpustakaan, baik dengan aktivitas yang banyak seperti halnya dengan Bait al-
hikmah tersebut, maupun yang hanya berfungsi sebagai perpustakaan, pada waktu itu
sangat banyak mengimpun buku-buku dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Sebagian perpustakaan itu ada yang menghimpun lebih dari sejuta buku.
Di samping perpustakaan-perpustaakn itu, tersebar pula apa yang dinamakan mahal
al-waraqah (secara harfiah berarti tempat kertas) yang berfungsi sebagai pusat ilmu
pengetahuan dan peradaban. Mahal al-waraqah ini aktivitas utamanya adalah pembuatan
naskah buku, penulisan kaligrafi untuk buku, di samping fungsinya sebagai pusat
peradaban. Al-Ya'qubi, sejarawan terkenal abad ketiga Hijrah, pada tahun 278 H (891 M)
meneliti bahwa di Baghdad ketika itu terdapat sebanyak lebih dari seratus mahal al-
waraqah.
Setelah periode Abbasiyah pertama berakhir, politik dunia Islam mengalami
disintegrasi. Negara Dinasti Abbasiyah mendapat saingan besar dari negara Bani
Umayyah di Spanyol dan negara Dinasti Fathimiyah di Mesir. Kedua negara Islam
terakhir ini, bersama dinasti-dinasti kecil lainnya, juga ambil bagian aktif dalam lapangan
ilmu pengetahuan, pendidikan, dan pengajaran. Semuanya mengalami kemajuan pesat.
Para pakar peradaban sering mengatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban
buku, dalam arti bahwa buku telah dimanfaatkan secara serius sebagai sumber ilmu
pengetahuan. Hal itu karena al-Qur'an yang merupakan pedoman hidup kaum Muslim
menempatkan ilmu pengetahuan pada kedudukan yang tinggi dan terhormat. Karena
itulah, orang-orang Islam dari semua kalangan sangat menghargai buku, dan buku dalam
kaitannya dengan peradaban Islam sama artinya dengan perpustakaan.
18
Perpustakaan di dunia Islam telah berkembang sebagai lembaga pendidikan
sebelum Madrasah masuk ke dalam khazanah pendidikan Islam. Ketika Madrasah mulai
muncul perpustakaan tetap berkembang, bahkan Madrasah pun melengkapi dirinya
dengan bangunan perpustakaan. Kendatipun perpustakaan di sini telah dibatasi fungsinya
hanya sebagai tempat baca.
Seperti halnya halaqah al-dars, perpustakaan pun sempat dipertanyakan apakah ia
merupakan lembaga pendidikan, ataukah cukup disebut sebagai perpustakaan saja, tanpa
diberi status atau predikat sebagai lembaga pendidikan. Seakan ingin menjawab keraguan
17 Hasan al-Basya, op. cit, h. 100.
18 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, edisiIndonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.
132-3.
________________________________________
Page 18
ini, Ahmad Syalabi mengatakan bahwa perpustakaan di dunia Islam klasik telah
menjalankan fungsi sebagai perguruan tinggi seperti di zaman modern.
Untuk menguatkan pandangannya itu Ahmad Syalabi menyebut beberapa
perpustakaan yang nyata-nyata melebihi fungsinya sebagai perpustakaan, karena juga
berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar. Perpustakaan
"Khizanah al-Hikmah", di Karkar bagian Qufs (dekat Baghdad), misalnya, selalu
didatangi orang-orang dari berbagai negeri untuk belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Perpustakaan ini terletak di istana milik Ali ibn Yahya. Perpustakaan ini dilengkapi
dengan asrama, tempat menginap orang-orang yang berasal dari negeri yang jauh. Bukan
itu saja, perbelanjaan dan makanan mereka juga ditanggung oleh ibnu Yahya.
Begitu juga perpustakaan yang terletak di "Dar al-'Ilm" yang didirikan oleh Abu al-
Qasim Ja'far ibn Muhammad ibn Hamdan al-Maushili di Mosul. Perpustakaan ini dibuka
setiap hari dan bisa dimanfaatkan oleh siapa saja. Sebagai pengagum dan pecinta syair,
JaTar memanfatkan perpustakaannya itu untuk mengajarkan syair-syair gubahannya, atau
syair-syair orang lain yang dipelajarinya, kepada para pengunjung. Para pengunjung yang
datang dari negeri yang jauh dan kebetulan tidak berpunya, selalu diberi buku-buku dan
uang oleh Ja'far. Karena alasan-alasan itu., Ahmad Syalabi mengingatkan bahwa siapa
saja yang menulis tentang lembaga pendidikan Islam di masa klasik, maka dia tidak dapat
meninggalkan pembicaraan tentang perpustakaan.
b. Observatorium dan Rumah sakit.
Di samping perpustakaan, para khalifah, sultan, dan para amir juga mendirikan
observatorium dan rumah sakit. Hal ini sejalan dengan kemajuan peradaban Islam paska
penerjemahan karya-karya klasik ke dalam bahasa Arab, yang di antaranya mendorong
perkembangan ilmu astronomi dan kedokteran dalam Islam.
Sebagaimana halnya perpustakaan, observatorium juga difungsikan sebagai
lembaga pendidikan, atau difungsikan sebagai tempat untuk tranmisi ilmu dalam Islam.
Di observatorium sering diadakan kajian-kajian ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani.
Bait al-Hikmah yang sangat berkembang pada masa Khalifah al-Makmun, dilengkapi
dengan observatorium. Di sana, Khalifah al-Makmun mempekerjakan seorang ahli
matematika muslim terkenal brillian pada waktu itu, al-Khawarizmi, untuk mengamati
dan mengadakan riset di observatorium tersebut, khususnya untuk menyusun kalender.
Khalifah Bani Fathimiyah, al-Hakim, juga mendirikan dan membangun Dar al-Hikmah
dan melengkapinya dengan sebuah observatorium di Kairo, Mesir. Penguasa Dinasti
Hamdan juga membangun sebuah observatorium dengan mengangkat ibn Sina sebagai
pengelolanya. Dan Dinasti Seljuk yang berkuasa di Baghdad, di samping mendirikan
Madrasah, juga mendirikan observatorium besar untuk Umar Khayam pada tahun 1100
M. Pada tahun 1264, setelah Baghdad dijarah oleh tentara Bangsa Mongol di bawah
Hulago Khan, observatorium masih didirikan penguasa muslim di Madinah.
19
Rumah sakit, yang dalam literatur klasik sering disebut dengan Bimaristan (tunggal,
19 Hanun Asrohahm op. cit., h. 69-70.
________________________________________
Page 19
jamaknya Bimaristanat), sebagaimana halnya dengan perpustakaan dan observatorium,
juga difungsikan sebagai lembaga pendidikan, terutama bagi caloin-calon dokter, atau
orang yang tengah menuntut ilmu kedokteran. Rumah sakit itu tampaknya digunakan
sebagai tempat mereka mempraktekkan ilmu yang secara teoretis telah mereka terima.
Jumlah rumah sakit yang dibangun oleh para penguasa Muslim di masa klasik sangat
banyak. Sampai tahun 1160, di Baghdad saja telah berdiri sekitar enam puluh rumah
sakit, belum lagi kalau dijumlahkan rumah-rumah sakit yang pernah dibangun pada masa
yang sama di kota-kota pusat peradaban Islam, seperti Kairo (Mesir), Kiarawan (Tunisia),
Cordova dan Seville (Spanyol).
c. Masjid Khan
Sebagaimana telah disebutkan di muka, mesjid merupakan salah satu tempat
pertama kali pendidikan dalam Islam berlangsung. Dalam perkembangannya, bangunan
mesjid saja tidak lagi rnemadai untuk tempat berlangsungnya pendidikan, bukan saja
karena proses pendidikan dan pengajaran dapat mengganggu orang yang ingin beribadah,
juga karena jumlah para pernmtut ilmu di sana sudah semakin meningkat. Karena itulah,
di samping masjid orang-orang yang peduli dengan kelangsungan pendidikan dalam
Islam mendirikan bangunan di sampingnya, yang dapat berfungsi sebagai asrama bagi
para penuntut ilmu. Inilah yang disebut dengan masjid Khan, yaitu masjid yang di sisinya
didirikan khan (asrama atau pemondokan) sebagai tempat penginapann bagi para pelajar
yang datang dari berbagai kota. Masjid Khan sebagai lembaga pendidikan ini mengalami
perkembangan pesat pada abad ke-10 M. Menurut Makdisi, Badr bin Hasanawaih al-
Kurdi (w. 1015 M) yang menjadi gubernur di beberapa wilayah di bawah kekuasaan
Adud al-Daulah, mendirikan sekitar 3.000 masjid khan. Abu Ishaq, guru pada Madrasah
Nizhamiyyah Baghdad, sebelumnya pernah aktif sebagai guru di masjid khan dengan
membimbing sekitar sepuluh sampai dua puluh orang murid.
20
Dari pengalaman Abu
Ishaq itu, dapat dipahami bahwa khan di samping berfungsi sebagai penginapan, juga
digunakan sebagai tempat belajar.
d. Ribath dan Zawiyah
Ribath secara harfiyah berarti benteng. Namun, dalam perkembangannya, Ribath
yang pada mulanya memang berfungsi sebagai benteng itu mengalami perubahan makna.
Sehubungan dengan pendidikan, Ribath berarti tempat kegiatan kaum sufi yang ingin
menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkon-sentrasikan diri untuk ibadah
semata-mata. Ribath biasanya dihuni oleh sejumlah orang miskin yang secara bersama-
sama menjalankan aktivitas keilmuwan di samping melakukan praktik-praktik sufistik.
Biasanya, di setiap Ribath terdapat seorang syaikh yang terkenal dengan kesalehan dan
ketinggian ilmunya. Ribath yang memiliki seorang syaikh terkenal akan banyak
dikunjungi orang dan memiliki banyak murid.Lembaga pendidikan sufi lainnya disebut
juga dengan zawiyah.
Setelah Madrasah berdiri, kebanyakan Ribath berubah fungsi hanya sebagai asrama
20 Maksum, op. cit., h. 58
________________________________________
Page 20
saja, sementara proses pendidikan dan pengajaran berlangsung di Madrasah.
B. Lahir dan Berkembangnya Madrasah Pada Masa Klasik Islam
Dilihat dari perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dalam Islam, sebagaimana
telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa Madrasah adalah hasil evolusi dari
masjid sebagai lembaga pendidikan. Sebelum berpindahnya lembaga pendidikan Islam
dari masjid ke Madrasah, sebenarnya masjid sendiri secara fisik telah mengalami evolusi.
Lamanya pendidikan di dalam masjid menuntut tersedianya tempat tinggal permanen
bagi mahasiswa yang datang dari jauh. Kebutuhan ini dijawab dengan pengenalan khan
(asrama) di samping masjid yang dipelopori oleh Badr bin Hasanawayh. Maka dalam hal
ini Madrasah merupakan perkembangan berikutnya dari masjid dan masjid yang
berasrama (masjid khan},
21
George Makdisi rnenekankan bahwa masjid khan yang
kemudian tumbuh menjadi Madrasah adalah masjid khan tempat di mana fiqih
merupakan bidang studi utamanya. Ini sesuai dengan pandangannya bahwa Madrasah
adalah lembaga pendidikan hukum (college of law).
Seiring dengan perkembangan peradaban Islam, pendidikan yang telah menjadi
perhatian utama sejak masa awal mengalami kemajuan pesat. Perhatian para bangsawan
dan dermawan terhadap bidang ini memungkinkan terciptanya jaringan kegiatan ilmiah
yang meluas dengan dukungan dana yang terjamin. Khan adalah salah satu manifestasi
dari perhatian ini. Rasanya, cukup alamiah kalau kemudian timbul kebutuhan baru akan
lembaga yang secara khusus diperuntukkan bagi pendidikan. Masjid dan masjid khan,
betapapun besar peranannya, tetap merupakan tempat ibadah dan hanya sebagian dari
ruang dan waktunya yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan.
Sebagaimana dijelaskan Hasan Asari, Nakosteen menulis:
"Pendidikan yang tersedia di maktab, sekolah istana, dan masjid mempunyai
keterbatasan-keterbatasan yang sangat jelas berdasarkan tujuan pendidikan.
Kurikulumnya sangat terbatas, lembaga-lembaga ini tidak berhasil memikat guru-
guru terbaik, fasilitas-fasilitasnya tidak menawarkan lingkungan pendidikan yang
kondusif, konflik antara tujuan-tujuan kependidikan dengan tujuan-tujuan keagamaan
di mesjid hampir tidak bisa didamaikan lagi. Pendidikan menuntut keaktifan (dan
menimbulkan kebisingan) yang mengganggu kekhidmatan peribadatan. Karena itu,
menjadi penting untuk mengurangi sebanyak mungkin tanggung jawab mesjid yang
berkaitan dengan pendidikan... Pendirian sebuah tipe lembaga pendidikan yang baru
yakni Madrasah, adalah alamiah dan perlu. Sebuah faktor eksternal yang juga
berperan dalam pengembangan konsep baru ini adalah kenyataan bahwa kemajuan
dan penyebaran pengetahuan melahirkan kelompok orang yang kesulitan membangun
kehidupan yang layak dengan pengetahuan abstrak mereka...Memajukan pendidikan
dan menyediakan penghasilan kelompok ini adalah bagian dari alasan didirikannya
21 Paparan mengenai sejarah timbulnya madrasah ini lihat tulisan George Makdisi, "The Rise of
Colleges: Institutions of Learning In Islam and The West", yang juga dikaji secara mendalam oleh Hasan
Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, op. cit., h. 45.
________________________________________
Page 21
Madrasah-Madrasah."
22
Dari kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang
menyebabkan timbulnya istilah pengajaran di Madrasah, yaitu:
Pertama; halaqah-halaqah (lingkaran belajar) untuk mengajarkan berbagai ilmu
pengetahuan, yang di dalamnya terjadi berbagai diskusi dan perdebatan, sering
mengganggu orang-orang yang beribadah di mesjid. Karena itu ada upaya untuk segera
memindahkan halaqah-halaqah tersebut keluar mesjid. Didirikanlah ruangan-ruangan dan
kelas-kelas sehingga tidak mengganggu kegiatan ibadah. Lama kelamaan muncul
keinginan untuk benar-benar memisahkan lembaga pendidikan Islam itu dari masjid ke
bangunan tersendiri yang lebih permanen. Dari sinilah muncul Madrasah. Kedua, dengan
makin berkembangnya ilmu pengetahuan, baik agama maupun pengetahuan umum
(waktu itu dikenal dengan sebutan al-'ulum al-'aqliyyah, ilmu-ilmu rasional), maka makin
banyak diperlukan ruangan dan kelas untuk mengajarkan dan menampung para murid
yang kian hari kian bertambah. Masjid tidak bisa mengakomodasi kebutuhan tersebut.
Ditambah lagi dengan mulai berkembangnya pendapat bahwa pengetahuan umum
sebaiknya tidak diajarkan di dalam masjid. Karena itu Madrasah menjadi pilihan yang
dianggap cukup memadai untuk menampung kebutuhan tersebut.
Ketiga, pada abad ke-4 H, Syi'ah telah tumbuh menjadi faham dan gerakan
keagamaan yang kuat yang berkembang dihampir seluruh dunia Islam. Syi'ah tidak hanya
merupakan gerakan politik tetapi juga gerakan ilmu pengetahuan yang secara aktif dan
sistematis menyebarkan ide-idenya melalui lembaga-lembaga pendidikan. Keadaan ini
sangat menantang kaum Muslim dari kalangan Sunni. Karena itu mereka membangun
Madrasah-Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang oleh para ulama fiqih kemudian
digunakan untuk mengembangkan sekaligus mempertahankan faham Ahlussunah.
Keempat, pada masa bangsa Turki Seljuk mulai berpengaruh dalam pemerintahan Bani
Abbasyiah (1055-1194 M) dan mempertahankan kedudukan mereka dalam pemerintahan,
mereka berusaha untuk menarik hati kaum Muslimin, dengan jalan memperhatikan
pendidikan dan pengajaran bagi rakyat umum. Mereka juga berusaha mendirikan
Madrasah-Madrasah ini di berbagai tempat dan dilengkapi dengan sarana dan fasilitas
yang diperlukan. Guru-guru digaji secara khusus untuk mengajar di Madrasah-Madrasah
yang mereka dirikan. Kelima, mereka mendirikan Madrasah tersebut dengan harapan
mendapatkan simpati rakyat umum, di samping ampunan dan pahala dari Allah SWT.
Para pembesar negara pada masa itu, dengan kekayaan mereka, banyak yang melakukan
maksiat dan bermewah-mewahan, sehingga dengan mendirikan sekolah-sekolah tersebut
mereka ikut mewaqafkan hartanya ke jalan Allah dengan harapan sebagai penebus
dosa.
23
Terlepas dari kenyataan tersebut, Madrasah tetap merupakan aiternatif pendidikan
Islam yang lebih maju. Masjid berasrama (masjid khan) adalah masjid yang di dalamnya
terdapat kegiatan pendidikan yang cukup menonjol. Tetapi dalam perkembangannya
kemudian muncul pandangan bahwa kegiatan belajar-mengajar seyogyanya bukan
22
Hasan Asari, ibid., h. 46
23
"Zuhairini, (et. al), Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:Bina Aksara, 1994);Cet-I,h. 100-101.
________________________________________
Page 22
merupakan unsur yang dominan, sebab dalam kenyataannya fungsi masjid yang utama
adalah sebagai tempat ibadah yang membutuhkan ketenangan.
Dengan munculnya Madrasah, masalah tersebut dapat terpecahkan, sebab
Madrasah adalah lembaga pendidikan dalam arti yang sebenarnya. Madrasah tidak
menggantikan masjid. Malahan dalam kenyataannya tidak sedikit komplek Madrasah
yang mempunyai masjid di dalamnya.
24
Jadi kebalikan dari masa sebelumnya ketika
masjid memiliki unsur "Madrasah" di dalamnya. Namun jelas bahwa fungsi utama
Madrasah bukanlah sebagai rumah ibadah.
1. Awal berdirinya Madrasah sebagai Lembaga Pendidikan
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang awal munculnya Madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam seperti yang dikenal sekarang. Hasan Ibrahim Hasan
berpendapat bahwa: Madrasah belum berdiri sebelum abad 4 hijriyah (sebelum 10
Masehi).
25
Madrasah pertama adalah Al-Baihaqiyah di Naisapur. Al-Maqrizy juga
mengemukakan hal yang sama, bahwa Madrasah yang mula-mula berdiri adalah Al-
Baihaqiyah di Naisapur, oleh Abu Hasan Ali al-Baihaqi yang wafat pada 414 H.
26
Hasil penelitian Richard Bulliet tahun 1972, mengungkap-kan, selama 2 abad
sebelum Madrasah Nizhamiyah di Baghdad sudah berdiri Madrasah di Naisapur
sebanyak 39 Madrasah dengan Madrasah tertua Miyan Dahiya yang mengkhususkan
pada pengajaran Fiqih Maliki.
27
Demikian pula Naji Ma'ruf (1966:9) mengatakan bahwa 165 tahun sebelum
Madrasah Nizhamiyah, sudah ada Madrasah diTransoksania dan Khurasan. Sebagai
bukti, ia mengemukakan data dari Tarikh al-Bukhari yang menjelaskan bahwa Ismail Ibn
Ahmad Ibn Asad yang wafat pada tahun 295 H mempunyai Madrasah yang dikunjungi
oleh para pelajar untuk melanjutkan pelajaran mereka. Madrasah Naisapur pada masa
awalnya didirikan oleh ulama fiqih dengan tujuan utama mengembangkan ajaran
mazhabnya. Pada umumnya Madrasah tersebut mengajar-kan satu mazhab fikih saja dan
sebagian besar mazhab Syafi'i.
28
Dari 39 Madrasah yang dikemukakan oleh Bulliet,
hanya satu Madrasah yang mengajarkan Fiqh Maliki, empat Madrasah yang
mengajarkan mazhab Hanafi dan yang lain mengajarkan fikih Syafi'i.
29
Pendapat lain mengatakan bahwa Madrasah muncul pertama kali di dunia Islam
adalah Madrasah Nizhamiyah, yang didirikan oleh Nizham al-Mulk seorang penguasa
dari Bani Saljuk (W. 485 H.). Ibnu al-Atsir menyebutkan bahwa Nizham Al-Mulk
seorang wazir Sultan Maliksyah Bani Saljuk (465-485) mendirikan 2 Madrasah yang
24 Hasan Asari, op. cit., h. 47.
25 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasi Wa al-Dini Wa al-Tsaqafi Wa al-Ijtimai.,]uz 4 Cet-IV
(Mesir, Maktabah al-Nahdlah, 1967), h. 425O
26 Al-Maqrizi, al-Mawaizh wa al-I'tibar bi-Dzikr al-Khithath via al-Atsar. 2 Vol., (Beirut: Dar Shadir,
t.t.), h. 212 dan 380.
27 Richard W. Bulliets, The Patricians oa Nishapur (Cambridge: Mass Harvard University Press,
1972), h. 174
28 Naji Maruf, Madaris Makkah (Baghdad: Al- Irsyad, 1966), h. 9.
29 Bulliet, The Patricians, op. cit.,h. 176.
________________________________________
Page 23
terkenal dengan nama Madrasah Nizhamiyah di Bagdhad dan Naisapur kemudian di
berbagai wilayah yang dikuasainya.
30
Kamaluddin Hilmi berpendapat bahwa tidak benar para penulis terdahulu
mengatakan bahwa Nizham al-Mulk adalah orang pertama yang mendirikan Madrasah di
dunia Islam. Dia, menurutnya, hanya orang pertama memberikan bea siswa bagi para
pelajar, menggaji fuqaha dan mendermakan harta bendanya untuk pembangunan gedung
Madrasah yang megah.
31
Karena perubahan sistem inilah mungkin yang menyebab-kan para ahli pendidikan
Islam menyebut Madrasah Nizhamiyah sebagai Madrasah Pertama. Dengan pengertian
sebagaimana disebut oleh Hasan Abdu A1-A1 bahwa, Madrasah Nizham al-Mulk
bukanlah Madrasah pertama di dunia Islam, tetapi ia adalah Madrasah terbesar
pertama.
32
Istilah Madrasah juga pernah muncul pada masa khalifah Abbasyiah Harun al-
Rasyid yang disebut dengan "Madrasah Baghdad", akan tetapi belum populer pada saat
itu karena mengalami kemandekan. Madrasah pertama di dunia Islam dalam arti populer
menurut beberapa pendapat adalah Madrasah Baihaqiyah di Naisapur pada abad ke-3 H,
sedangkan menurut penelitian Bulliet (1972) Madrasah tertua adalah Miyan Dahiya di
Naisapur juga pada abad ke-3 H.
33
Sedangkan Madrasah Nizhamiyah adalah Madrasah
terbesar pertama di dunia Islam.
Pendapat lain dikemukakan oleh Ahmad Amin dalam Dhuha Al-Islam. Dia
membuat kesimpulan tentang Madrasah Nizhamiyah yang disebutnya sebagai Madrasah
pertama. Namun, sayang ia tidak memberikan informasi bibliografls dari kutipannya
dalam buku tersebut yang memungkinkan pelacakan lebih lanjut tentang Madrasah
tersebut.
34
Keadaan ini tidak bisa dipertahan-kan karena penelitian belakangan
membuktikan bahwa sebelum berdirinya Madrasah yang didirikan penguasa Dinasti
Seljuk tersebut sudah ada Madrasah di Naisapur, di bawah naungan Dinasti Samaniyah
(204-395/819-1005) yang berkembang menjadi salah satu pusat kebudayaan dan
pendidikan terbesar di dunia Islam sepanjang abad ke-4/10 M. Daerah yang dikenal
sebagai tempat kelahiran Madrasah ini telah memiliki banyak Madrasah sebelum era
Nizham al-Mulk.
35
Namun, hal demikian tidak mengecilkan arti penting peran Nizham al-Mulk yang
30 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, op. cit., h. 425O
31 Ahmad Kamaluddin Hilmi, al-Salajiqah fi al-Tarikh wa al-Hadharah (Kuwait: Dar al-Buhuts al-
Ilmiyah, tt), h. 375
32 Hasan Abd al-'Al, al-Tarbiyah al-hlamiyah Fi al-arni al-Rabi al-Hijri (Beirut: Dar El Fikr Al-
Arabi, 1977), h. 213.
33 Bulliet, The Patrician, loc. cit.
34 Hasan Asari mengatakan bahwa Ahmad Amin tidak mengungkapkan secara jelas mengenai
penelidannya terhadap keabsahan penelidannya mengenai Madrasah Nizham al-Mulk dalam bukunya
Dhuha al-Islam. Amin tidak memberikan informasi bibliografis dari kutipannya untuk pelacakan lebih
lanjutnya mengenai penelidannya, lihat Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, op. cit., h. 48.
35 Adam Mettz, The Renaissance of Islam, terj. Khuda Buksh dan DS Margoliouth, (NY: AMS
Press, 1975), h. 179-180.
________________________________________
Page 24
telah berjasa membesarkan nama lembaga pendidikan Madrasah. la memang bukan
orang pertama yang membangun Madrasah, tetapi dilihat dari skala usahanya, ia adalah
orang yang pertama yang membangun jaringan lembaga pendidikan yang besar dengan
nama Madrasah. Ahmad Syalabi mengatakan: "Dalam hal ini, tak seorangpun yang
mendahului Nizham al-Mulk. Kalaupun dalam sejarah kemudian nama Nizham al-Mulk
lebih terkenal, karena biasanya dalam penulisan sejarah orang sering menunggu
fenomena besar, tanpa melihat peristiwa-pertistiwa sejarah sebelumnya, saat
perkembangan peristiwa-peristiwa itu masih terpisah-pisah.
36
2. Madrasah Pertama dalam Islam dan Penyebarannnya
Mengingat luasnya perkembangan Madrasah ketika itu, maka kiranya perlu pula
untuk menyinggung penyebaran lembaga pendidikan tersebut di dunia Islam. Berikut ini
adalah Madrasah-Madrasah yang pernah tumbuh dan berkembang di masa klasik Islam.
a. Madrasah-Madrasah di Naisapur
Istilah Madrasah di Naisapur merujuk pada lembaga pendidikan tinggi. Madrasah
pertama di Naisapur dikembangkan pada abad ke-4 di bawah naungan Dinasti Samaniyah
(204-395 H/819-1005 M). Daerah Naisapur sendiri mencakup sebagian Iran, sebagian
Afghanistan dan bekas pecahan Uni-Sovyet antara Laut Kaspia dan Laut Aral. Bangunan
Madrasah-Madrasah di Naisapur masih sangat sederhana. Sulit membedakan, dari
keformalannya, antara masjid dan bangunan madrasah. Karena hampir rata-rata madrasah
di kota ini masih menyatu dengan tempat ibadah. Hanya beberapa saja yang sudah
memisahkan diri. Namun, pemakaian istilah "madrasah" dimulai di daerah ini.
Kebanyakan madrasah di kota ini bersifat teachers oriented, karena letak
keberhasilan pendidikan sangat tergantung pada guru. Guru mempunyai wewenang dan
kekuasaan melampaui jabatannya. Sehingga, kualitas pendidikannya pun ditentukan oleh
gurunya, bukan oleh pemilik tempat yang digunakan dalam proses pendidikan tersebut.
Pelajaran yang sangat diutamakan adalah pelajaran agama, khususnya membaca dan
menghafal Al-Quran serta Sastra Arab, khususnya puisi-puisi dan syair. Kurikulum dan
materi pelajaran ' belum disusun secara teratur. Guru mengajarkan apa saja yang ia
kuasai. Oleh sebab itu, seorang guru, sebelum diterima sebagai pengajar, harus diuji
terlebih dahulu tentang keahlian mengajar dan bidang ilmunya. Gurupun harus
memperlihatkan ijazahnya sebelum mengajar. Bentuknya adalah semacam legalisasi dari
tempat ia belajar sebelumnya. Sehingga, ia dipercaya untuk memberikan pelajaran yang
ia kuasai. Setiap guru hanya mengajar satu kitab saja. Murid yang telah menyelesaikan
satu kitab dapat pindah ke madrasah lain untuk mempelajari kitab yang lain.
Seorang murid yang telah menamatkan buku/kitabnya pada seorang guru dan telah
melampaui proses penilaian yang dilakukan oleh gurunya, akan memperoleh surat
keterangan bahwa dia menguasai kitab tertentu yang diajarkan guru itu dan sanggup
untuk mengajarkannya kepada orang lain (semacam rekomendasi mengajar). Surat
36 Ahmad Syalabi, The History of Muslim Education (Beirut: Dar al-Kasyaf, 1954), h. 60-61.
________________________________________
Page 25
keterangan itu dapat pula disebut ijazah. Namun, ijazah itu bukan berisi nilai prestasi
belajar murid dan bukan pula transkrip nilai dari berbagai mata pelajaran seperti saat ini.
Pada masa awal perkembangan madrasah tersebut, tidak ada jadwal pelajaran yang
teratur. Seorang murid bebas menentukan dan meneruskan pelajarannya selama ia
memiliki kecerdasan dan kesanggupan dan gurunya memadai untuk maksud tersebut.
Waktu bukanlah faktor utama untuk menyelesaikan pendidikan dan pengajaran, begitu
pula usia tidak menjadi syarat utama. Proses belajar-mengajar pada saat itu berlangsung
secara sederhana. Guru membacakan pelajaran dari satu teks. Murid menyalin teks
tersebut sebagaimana yang dibacakan gurunya. Murid kemudian membacakan secara
lantang teks tersebut.
Hubungan guru dan murid sangat akrab seperti hubungan orang tua dengan anaknya
yang penuh perhatian dan kasih sayang. Proses belajar mengajar diselenggarakan dengan
segala kerendahan hati. Sebuah kerangka pelajaran yang mudah dimengerti oleh murid
diberikan oleh para guru, lalu ditambah dan dilengkapi dengan rincian sepanjang proses
belajar-mengajar. Kesalahan murid diperbaiki tetapi tidak dengan kekerasan. Kegiatan
belajar mengajar berlangsung dari pagi sampai siang.
Bangunan madrasah di kota ini mempunyai ciri khusus, yaitu mempunyai sebuah
pekarangan luas yang disebut "shahn". Terdapat pula kamar-kamar untuk para pelajar
dan dewan guru. Setiap kamar memiliki pilar-pilar tinggi. Bagian terpenting dari
madrasah ini adalah ruangan kuliah semacam aula yang disebut "iwanat" dilengkapi
dengan mimbar. Madrasah juga bersanding dengan mesjid tempat para pelajar melakukan
kegiatan ritualnya.
Dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajarnya, madrasah-madrasah di
Naisapur ada yang benar-benar telah menggunakan gedung sendiri dan terlepas dari
masjid, tetapi ada pula madrasah yang masih "menempel" dengan masjid tetapi
mempunyai ruang belajar yang disebut 'iwanat, yaitu aula yang luas untuk para murid
belajar. Iwanat inilah yang menjadi ciri khas madrasah di Naisapur.
b. Madrasah Nizhamiyah
Pembicaraan mengenai awal kebangkitan madrasah sebagaimana telah dibicarakan
di muka, selalu dikaitkan dengan nama Nizham Al-Mulk (w. 485 H/1092 M), salah
seorang wazir Dinasti Saljuq. Dialah yang membangun sejumlah madrasah yang
kemudian disebut "madrasah Nizhamiyah" di berbagai tempat/ kota utama daerah
kekuasaan Dinasti Saljuq. Peran pentingnya bukanlah sebagai orang pertama yang
mendirikan madrasah, tetapi lebih pada semangatnya untuk membangun sejumlah
lembaga tinggi tersebut secara besar-besaran.
Langkah perkembangan lembaga pendidikan tinggi Islam pada masa-masa
sesudahnya, biasanya diilhami oleh madrasah ini, terutama di wilayah-wilayah yang
berada di bawah patronase Nizham Al-Mulk sebagi wazir (tahun 1064). Bangunan baru
yang disebut Madrasah Nizhamiyah ini mengambil Mesjid-khan sebagi model. Madrasah
________________________________________
Page 26
(dalam bentuk klasiknya) dapat disebut college (akademi) sebagaimana dikenal sekarang.
Pada masa itu, Turki Saljuq (Bani Saljuq) telah mengambil alih pemerintahan Timur
Tengah dari Bani Buwaih yang mengangkangi kekhalifahan Abbasyiah.
Seperti diketahui, sebelum Dinasti Saljuk, kekuasaan atas bagian terbesar wilayah
Islam dipegang oleh Dinasti Buwaihi (945-1055 M) dan Dinasti Fatimiyah (969-1171
M). Irak, Iran dan belahan timur lainnya dikuasai oleh Buwaihi. Sedang Mesir, Afrika
Utara dan Syria berada di bawah kekuasaan Fathimiyah. Faham Syi'ah yang menjadi
anutan kedua dinasti tersebut sempat, berkembang luas di tengah-tengah masyarakat.
Peran penguasa Syiah terhadap ajarannya bersamaan dengan ekspansi kekuasaan atas
daerah-daerah milik dinasti Abbasyiah. Dengan rontoknya dinasti Abbasyiah sejak abad
ke-9, situasi politik memburuk drastis sampai ke Hijaz. Pada awal abad ke-10 kaum
Syiah muncul ker panggung kekuasaan di hampir seluruh Timur-Tengah. Dinasti
Fathimiyah berjaya di Mesir dan Afrika Utara. Sementara, dinasti Buwaihi bercokol di
Irak, Iran dan bahkan juga sempat menguasi daerah Sunni di Baghdad.
Berbeda dengan Syiah Fatimiyah yang agak toleran di Mesir, Hijaz harus
berhadapan dengan Syiah Qarmatiyah. Penyebaran Syiah Qarmatiyah ini terbukti
mendatangkan bencana bagi Hijaz mulai dari Bahrain sampai Ke Arab barat. Dengan
pimpinan Thahir al-Qarmati pada 317 H/929 M, kaum Syi'ah Qarmatiyah ini menyerbu
Makkah dan membunuh 30.000 jamaah haji dan penduduk setempat. Setelah menjarah
Makkah mereka mengambil Hajar Aswad ke al-Hijr, kubu mereka di Arabia Barat. Hajar
Aswad itu baru dikembalikan 22 tahun kemudian, ketika Manshur al-Alawi, pemimpin
Qartamiyah Afrika Utara, berhasil membujuk mereka agar mengembalikannya ke
Makkah (Ka'bah).
Selama kekacauan ini, suasana di kota Makkah nyaris lumpuh, pasar-pasar tak lagi
tenang berdagang ketika musim haji, mereka lebih senang pergi ke tempat lain. Fungsi
Haraymain sebagai pusat pendidikan mengalami kemerosostan, bahkan makin terbatas
pada Masjid Al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Namun, menjelang
abad ke-11 kaum Sunni meraih kembali kontrol politik atas hampir seluruh wilayah
Timur. Penguasa-penguasa Sunni seperti Ghaznawi diTransoxiana dan Afghanistan
(1052-1186 M), Saljuk di Anatolia, Syria dan Irak (1037-1300 M), dan Ayyubiyyah di
Mesir,Yaman, Syria dan Irak (1169-1500 M), meski sering terlibat konflik sesama
mereka, namun mampu membendung pasang naik kaum Syiah yang telah menancapkan
kekuasaannya di Baghdad dan menemnpatkan khalifah Abbasyiah di bawah kontrolnya.
Dinasti-dinasti Sunni tersebut berusaha sungguh-sungguh menjalankan kebijakan politik
dan keagamaan sesuai dengan ajaran ortodoksi Sunni. Hasilnya, ulama Sunni yang
mengembara ke mana-mana selama masa sulit tersebut terdorong untuk kembali ke
daerahnya masing-masing.
Munculnya orang-orang Saljuk pada abad ke-11 M sebagai pendukung ahli Sunnah
dan jatuhnya sebagian kerajaan Islam ke tangan mereka serta sikap mereka yang sangat
setia kepada khilafah merupakan faktor utama yang dapat mengukuhkan mazhab Sunni
dan melemahkan pengaruh dan kedudukan golongan Syiah. Dalam periode inilah
madrasah muncul dalam rangka memperkuat mazhab sunni dengan cara memberikan
Perhatian besar untuk mempelajari ilmu fiqh empat mazhab.
________________________________________
Page 27
Bani Saljuq berasal dari Asia Tengah yang kemudian berpindah ke Barat, sambil
melakukan Islamisasi sepanjang perjalanannya. Sebelum menyerang Baghdad, pemimpin
Saljuq menyetujui untuk tidak menghapus otoritas keagamaan khalifah, sebagaimana
yang dilakukan Bani Buwaih yang Syi'ah sebelumnya, tetapi hanya membentuk
pemerintahan politik di bawah pimpinan salah seorang dari keluarga Saljuq yang bergelar
sultan. Nizham al-Mulk adalah seorang wazir yang sangat berkuasa, atau perdana menteri
dari sang sultan. Untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya, Nizham al-Mulk
membantu pembangunan ratusan madrasah yang mengajarkan fiqih dalam mazhab
Syafi'i.
Selain itu, Nizham al-Mulk yang lahir di daerah Thus, Persia, adalah seorang
pecinta pengetahuan, terutama hadits. la pernah memimpin halaqah hadits di Baghdad
dan di berbagai kota Khurasan yang dihadiri sejumlah besar orang. Di samping itu ia juga
adalah politikus berbakat. Karirnya menanjak sejalan dengan menguatnya Dinasti Saljuq,
tempat dia menjadi wazir (perdana menteri) bagi Sultan Alp Arslan (455-465/1063-1072)
dan sultan Malik Syah (465-485/1072-1092). Pada masa keduanyalah puncakkejayaan
Saljuq tercapai. Kecintaan Nizahm al-Mulk terhadap pengetahuan dan kesuksesannya
dalam karir politik menjadi faktor sangat menentukan bagi kemajuan pendidikan Islam.
Nizham al-Mulk yang Sunni ini mempunyai komitmen berpegang teguh kepada doktrin
Asy'ariyah dalam "kalam" (teologi) dan ajaran Syafi'i dalam fiqh, yang kemudian
ditanamkannya kepada madrasah yang dikembangkannya.
Dalam perjalanan hidupnya, ia pernah berperan dalam menentang pengusiran dan
penganiayaan para sarjana Syafi'iyah dan para teolog Asy'ariyah dari daerah Khurasan,
yang merupakan kebijakan wazir Dinasti Saljuk sebelumnya, Al-Khunduri (w.455
H/1063 M). Berkat pengaruhnya, sarjana seperti Al-Juwayni (w.478/1085) dan sufi-faqih
Abu Al-Qasim Al-Qusyairy (w.465/1072) dapat kembali ke Naysapur dan melanjutkan
karir ilmiahnya setelah sebelumnya terpaksa mengasingkan diri ke Hijaz. Nizham Al-
Mulk membangun pertama kali madrasahnya di Naisapur untuk Al-Juwayni. Selanjutnya,
diteruskan di setiap kota utama Khurasan dan Irak, seperti Baghdad, Basrah, Isfahan,
Herat, Balkh, dan Mosul.
Madrasah-madrasah yang didirikan oleh Nizham al-Mulk dalam perkembangannya
kemudian tidak hanya terdapat di kota-kota, tapi juga di beberapa tempat sampai ke
daerah terpencil atau di desa-desa. Setiap kali ia menemukan seorang yang terkenal dan
berpengetahuan luas maka ia mendirikan madrasah agar orang alim tersebut mengajar di
situ dan diberi wakaf yang memadai. Semua madrasah yang dibangunnya dikenal dengan
nama madrasah Nizhamiyah.
1) Tujuan Pembangunan Madrasah Nizhamiyah
Dalam perkembangan peradaban Islam, madrasah Nizhamiyah merupakan unsur
penting yang tidak dapat diabaikan, khususnya pada wilayah kekuasaan Dinasti Saljuk.
Hal ini antara lain adalah karena pembangunan jaringan madrasah Nizhamiyah menandai
"kebangkitan kembali" paham Sunni. Selain itu, sejarah pendidikan Islam telah
________________________________________
Page 28
menunjukkan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan Islam par excellence sampai
pada periode modern dengan diperkenalkannya lembaga-lembaga modern seperti
universitas. Oleh karena itu, tujuan pembangunan madrasah ini adalah membangun
kembali ilmu pengetahuan yang sempat hilang semasa dinasti Umayah dan kekuasaan
Syiah, dan melengkapi sistem pendidikan Mesjid yang terlalu banyak kelemahannya.
Beberapa hal yang melatarbelakangi berdirinya Madrasah Nizhamiyah adalah
sebagai berikut: Pertama, penyebaran ilmu pengetahuan oleh Nizham Al-Mulk karena ia
adalah seorang sarjana. Pantas jika ia memiliki semangat untuk membangun lembaga
pendidikan yang modern. Kedua, konflik keagamaan yang sangat panjang dalam sejarah
Islam hingga abad 5/11 antara kelompok-kelompok yang mengembangkan pemikiran
keagamaan dalam Islam, misalnya Mu'tazilah, Syi'ah, Asy'ariyah,
Hanafiyah, Hanbaliyah dan Syafl'iyah. Perdana Menteri (wazir) Saljuq sebelum
Nizham Al-Mulk adalah Al-Kunduri seorang bermazhab Hanafi dan pendukung paham
teologi Mu'tazilah. Salah satu kebijakannya sebagai wazir adalah mengusir dan
menganiaya para penganut Asy'ariyah yang sering disebut sebagai penganut Syafi'i.
Setelah digantikan Nizham al-Mulk, beberapa penulis sejarah pendidikan Islam menyebut
bahwa tak ada indikasi pergantian pejabat yang berbeda paham teologi dan mazhab fiqih
itu merubah kebijakan politik keagamaan sebelumnya, sehingga merupakan aksi balasan.
Nizham al-Mulk sebagai penganut Syafl'iyah hanya membangun madrasah yang
diperuntukkan secara khusus bagi perkembangan mazhab Syafi'iyah. Tidak ada bukti
bahwa ia melakukan tindakan balasan, sehingga menghancurkan mazhab lainnya, seperti
Mutazilah dan Syiah. Kelompok-kelompok itu pada akhirnya melemah dengan
sendirinya. Jadi, sebenarnya ia ingin posisi Syafi'iyah-Asy'ariyah menguat melalui jalur
pendidikan. Ketiga, Madrasah Nizhamiyyah juga dimaksudkan sebagai wadah penataran
bagi pegawai pemerintahan terutama dalam mengurusi dan memperbaiki sistem
administrasi Negara. Lulusan madrasah yang siap pakai akan ditempatkan di
kepegawaian negara sesuai dengan keahliannya, misalnya sebagai katib (sekretaris),
qadhi (hakim) dan sebagainya.Terbukti, sistem madrasah berhasil dalam bidang ini.
Keempat, pengembangan kestabilan politik dalam negeri. Sebagai wazir, tindakan
Nizham al-Mulk membangun madrasah adalah untuk menguatkan jaringan dan kerangka
kerja ulama dan umara', yang berarti hubungan yang serasi antara pemerintah dan rakyat,
terutama kelompok Syafi'iyah-Asy'ariyah. Madrasah pada masa Nizham al-Mulk
dibangun dalam rangka memenuhi kebutuhan khusus yaitu penerapan kebijakan politik di
seluruh negeri di bawah kekuasaannya. Lembaga terbaik untuk meyangga hubungannya
dengan rakyat adalah lembaga tanpa ikatan resmi, misalnya di bawah otoritas khalifah,
seperti mesjid. Lembaga independen tersebut adalah madrasah yang dibangunnya.
Empat faktor tersebut menunjukkan bahwa munculnya madrasah sebagai fenomena
sejarah berkaitan dengan banyak faktor, tidak hanya sekedar faktor pendidikan dan
agama. Dalam konteks Madrasah Nizhamiyah tadi, kasus-kasus seperti konflik faham
keagamaan, konflik politik, dan kebutuhan rekruitmen tenaga kerja untuk mengisi
jabatan-jabatan pemerintahan, telah ikut menjadi pendorong lahir dan berkembangnya
pendidikan model madrasah.
________________________________________
Page 29
2) Penyebaran Madrasah Paska-Nizhamiyah
Apa yang dilakukan Nizham Al-Mulk dengan pem-bangunan madrasahnya
mendapat respon dari masyarakat, khususnya kalangan penguasa, bangsawan dan
hartawan. Mereka kemudian ikut mendirikan madrasah dibeberapa tempat. Pembangunan
tersebut ikut pula dikaitkan dengan eksistensi kelompok mereka. Jika mereka
membangun madrasah untuk kelompok Asy'ariyah maka pada waktu itu pula kelompok
lainnya ikut membangun. Terjadi semacam persaingan untuk saling membangun
madrasah. Tetapi ini merupakan persaingan yang sehat, karena makin banyak lembaga
pengetahuan yang dibangun bagi perkembangan peradaban Islam, terlepas dari siapa
yang membangunnya.
Selain Madrasah Nizhamiyah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, masih
banyak madrasah lainnya yang juga tumbuh pada masa itu atau sesudahnya. Dari daerah
Irak dan Khurasan, madrasah menyebar ke seluruh dunia Islam.Tercatat, pada masa
Dinasti Ayyubiyah (1169-1249 M) sampai penghujung abad ke-9 H/15 M) saja berdiri 61
madrasah di kota-kota Mesir, Jerusalem dan Damaskus.
37
Nakosteen menyebut satu
daftar yang memuat 58 madrasah yang terdapat di kedua daerah Irak dan Persia antara
pertengahan abad ke 5/11 sampai pertengahan abad ke-7/13.
38
Al-Nu'aymi memberikan
data tentang 128 madrasah yang ia ketahui berdiri di Damaskus dengan perincian 61
madrasah Syafiiyah, 52 Hanafiyah, 11Hanbaliyah dan 4 Malikiyah.
39
Hal ini menunjukkan sangat luasnya pembangunan madrasah pada masa itu. Di Irak
madrasah terkenal pada masa Nizham al-Mulk. Nur Al-Din (w.571/1174) dan Shalah Al-
Din Al-Ayyubi (w.589/1193) berperan penting dalam penyebaran madrasah di daerah
Mesir, Syria dan Palestina. Sejarawan abad ke-9 H/15 M, Al-Maqrizi, mencatat
keberadaan 73 madrasah di Mesir, sebagian besar di Kairo. Al-Asali memberikan uraian
tentang 56 madrasah untuk kota Jerusalem. Daerah Yaman mengenal madrasah pada
abad ke 6 H/12 M. Para Sultan Saljuq Anatolia (Saljuq Al-Rum), seperti halnya Saljuq di
Timur, juga membangun sejumlah madrasah. Penyebaran madrasah ke daerah
Transoksiana terjadi secara besar-besaran antara lain semasa pemerintahan Timur Lenk
(771-807 H/1370-1405 M); sementara di anak benua India dan Maroko hal ini terjadi
sekitar abad ke-7 H/l 3 M. Pada abad ini madrasah telah menjadi bagian dari peradaban
Islam, sehingga hampir tak ada kota tanpa madrasah.
Di antara madrasah yang lahir dan berkembang pada masa itu adalah madrasah
Imam Abu Hanifah dan madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad, madrasah Al-
Manshuriyah di Kairo, madrasah Granada dan Murcia di Andalusia, dan madrasah
Malaga di Cordova. Berikut ini akan dikemukakan gambaran mengenai madrasah-
madrasah tersebut sebagai kelengkapan memahami sejarah perkembangan madrasah
secara lebih dalam.
37 Ahmad Syalabi, History Of Muslim Education, op. cit., h. 111.
38 Nakosteen, History of Muslim Education, op cit., h. 50.
39 Abd. Ai-Qadir Al-Nuaymi, Al-Darisfi TarikhAl-Madaris (Beirut: Dar Al-KutubAl-Ilmiyyah, 1990),
h. 132.
________________________________________
Page 30
c. Madrasah Imam Abu Hanifah Baghdad
Dalam tulisan Ibn Al-Jawzi disebutkan bahwa pada tahun 459 H/l066 M, Abu Sa'd,
menteri keuangan Sultan Alp Arslan merenovasi makam Abu Hanifah dengan
memberinya batu nisan (malban), lalu membangun sebuah kubah di atasnya. Di samping
makam (masyhad) tersebut ia membangun sebuah madrasah dengan asrama untuk para
fuqaha' dan mengangkat seorang mudarris (guru) untuk mengajar mereka.
Pembangunannya dimulai pada bulan Shafar 459 H/Desember 1067 M dan selesai pada
bulan Jumadil Akhir 459 H/April 1067 M. Madrasah ini, sesuai dengan nama dan
lokasinya, khusus untuk penganut mazhab Hanafi. Ibn Sa'd mendukung biaya
operasionalnya dengan satu badan wakaf yang membayar mudarris, mahasiswa dan staf
lain yang bekerja untuk madrasah ini.
Sebuah catatan sehubungan dengan kondisi keuangan madrasah ini memberikan
gambaran umum kondisi fmansial madrasah masa ini (abad ke-5 H/l 1 M). Pada awal
tahun 523 H/ 1129 M, Sultan Mughitsuddin Mahmud II (sultan Saljuq yang berkuasa
pada 511-525 H/l 118-1131) mengeluarkan perintah untuk mengadakan pemeriksaan atas
keuangan Madrasah Abu Hanifah. Mudarris (guru), sekaligus administratornya saat itu
adalah Qadhi Al-Qudhat Al-Zaynabi (w.543/1148). Laporan pemeriksaan ini menyatakan
bahwa wakaf madrasah tersebut mempunyai penghasilan tahunan sekitar 80.000 dinar.
Dari jumlah ini tidak sampai 10.000 dinar yang dihabiskan untuk madrasah.
Komplek madrasah ini mencakup sebuah masjid, perpus-takaan, serta makam untuk
ulama-ulama besar mazhab Hanafi. Makam menjadi faktor pembeda antara madrasah
Nizhamiyah dan Madrasah Abu Hanifah; tetapi banyak madrasah yang dibangun
belakangan juga meliputi komplek makam, mengikuti pola madrasah Abu Hanifah ini.
AbuThahir Al-Daylami (w.461/ 1069) adalah mudarris pertama madrasah ini; kemudian
berturut-turut Abu Thalib Al-Zaynabi (w.512/1118), Abu Ishaq Al-Salji (w.515/1121),
Abu Yusuf Al-Lamaghani (w.536/1141), Abu Manshur Al-Hayti (w.537/1142), Al-
Zaynabi yang disebut terdahulu, Zayn Al-A'immah Al-Hanafi (w.546/1151) dan Abu Al-
Ghana'imAl-Baghdadi (w.557/1162). Seorang bernama Abu Sa'id Al-Khawarizmi
diketahui pernah menjadi pustakawan di Madrasah Abu Hanifah.
Madrasah ini beroperasi dengan baik selama lebih kurang dua abad, sampai masa
sebelum serbuan Mongol yang berakhir dengan jatuhnya Baghdad pada 656 H/l 258 M ke
tangan Hulagu. Madrasah ini mengalami pasang naik dan pasang surut sesuai dengan
stabilitas sosial, ekonomi dan politik Irak pada umumnya, dan Baghdad pada khususnya.
d. Madrasah Al-Mustanshiriyah Baghdad
Madrasah ini mengambil nama sesuai dengan pendirinya, Khalifah Abbassyiah ke-
36, Al-Mustanshir (623-640/1226-1242). Pembangunannya berlangsung selama sepuluh
tahun, satu indikasi yang menunjukkan kebesaran madrasah yang didisain oleh Mu'ayyad
Al-Din bin Al-Alqami ini. Fasilitas yang tersedia mencakup ruang kuliah, asrama, aula,
kolam, dapur umum dan gudang. Masih merupakan bagian dari madrasah ini adalah
________________________________________
Page 31
sebuah perpustakaan, sebuah Dar Al-Quran, sebuah Dar Al-Hadits, sebuah rumah sakit,
dan sebuah gudang obat (apotek).
Kenyataan ini membuat Madrasah Al-Mustanshiriyah berbeda dengan Madrasah
Nizhamiyah atau Madrasah Abu Hanifah. Perbedaan yang agak penting adalah bahwa
khalifah Abbasiyyah, al-Mustansyir, tidak menghendaki madrasahnya beroperasi hanya
untuk satu mazhab tertentu. Di sini, keempat mazhab sama-sama mendapat tempat dan
dukungan fasilitas. Untuk itu, madrasah ini mempunyai empat ruang kuliah, masing-
masing untuk satu mazhab.
Khalifah Al-Mustanshir terkenal dengan keadilan, kesalehan dan kedermawanannya
dalam memajukan kehidupan umat Islam, terutama di bidang pendidikan. Madrasah Al-
Mustanshiriyah adalah bagian terpenting dari usaha ini. Masa pemerintahannya
bertepatan dengan periode di saat stabilitas politik Baghdad tidak terlalu
menggembirakan. Ketika itu Baghdad tidak lagi menjadi pusat penting politik Islam.
Dinasti Saljuk yang sebelumnya berkuasa di Baghdad di Baghdad sudah jatuh, dan
khalifah sudah kembali berkuasa secara penuh dan otonom, setelah lebih dari tiga abad
hanya berperan sebagai boneka di hadapan para panglima tentara dan para sultan.
Namun, wilayah kekuasaannya hanya di kota Baghdad dan sekitarnya. Di luar itu dinasti-
dinasti Islam, seperti Khawarizimsyah diTransoxania dan Ayyubiyah di Mesir, Atabeg di
Syria jauh lebih kuat secara politik dari pada khalifah di Baghdad. Buruknya suasana
politik itu menyebabkan terjadinya perpindahan para ulama terbaik dari Baghdad.Tujuan
mereka pada umumnya adalah Damaskus, Kairo, Makkah atau Madinah. Kenyataan
historis ini menimbulkan akibat buruk bagi lapangan pendidikan. Kegiatan akademis
memang tetap berlangsung, tetapi, seperti kata Nashabe, "Baghdad menjadi tempat ulama
kelas dua".
Tampaknya keadaan ini ada dalam pikiran Al-Mustanshir ketika ia memutuskan
mendirikan madrasah. Kondisi akademis Baghdad sebagai tempat kediaman khalifah
perlu ditingkatkan kembali. Lagi pula, untuk memantapkan kekuasaannya baik secara
politik maupun sosial, khalifah butuh dukungan para ulama dan rakyat, dan madrasah
adalah salah satu kemungkinan sarana untuk memperoleh dukungan ini (lihat kasus
Madrasah Nizhamiyah). Untuk dapat mencakup sebanyak mungkin ulama, Al-Muntashir
memberikan tempat bagi keempat mazhab dalam madrasahnya.
Di sisi lain, umat Islam telah mencapai titik kondisi yaitu mereka siap untuk
eksperimen baru dalam pendidikan; satu institusi yang mencakup semua mazhab hukum
yang empat, menggantikan institusi yang secara eksklusif mendukung satu mazhab saja,
dan mengakhiri pertikaian berkepanjangan antara kelompok-kelompok Syafi'iyah,
Hanbaliyah dan Muta'zilah. Institusi seperti ini mempunyai kesempatan yang lebih baik
untuk diterima di seluruh dunia Islam, karena ia bisa memelihara kesatuan umat.
Patronase semua mazhab Sunni yang empat oleh khalifah akan memberinya satu
prestise yang lebih universal di dunia Islam tanpa hambatan dan batas-batas politik. Itulah
sebabnya, Al-Muntanshir mendukung pengajaran mazhab Hambali dan Maliki di
Madrasahnya walaupun di Baghdad hanya ada sedikit penganut kedua mazhab ini.Tentu
________________________________________
Page 32
saja Al-Muntanshir tidak saja bertujuan menyediakan fasilitas pendidikan bagi penduduk
Baghdad, tetapi mencita-citakan kota Baghdad kembali sebagai pusat kegiatan
pendidikan bagi semua mazhab Sunni. Dengan madrasah ini, ia ingin merangsang para
ulama untuk berbondong-bondong kembali ke Baghdad.
Sejarah madrasah Al-Mustanshiriyah, oleh Nashabe dibagi menjadi tiga periode:
Periode Pertama, sejak berdirinya sampai akhir khilafah Abbassyiah. Catatan sejarah
tentang peresmian madrasah ini menunjukkan keterlibatan para pejabat tinggi
pemerintahan dan para ulama terkemuka. Peresmian ini ditandai oleh pengangkatan
empat guru besar: Ibn Fadhlan (w.631/1233), Al-Farghani (w.632/1234), IbnYusuf Al-
Jawzi (w. 653/1255) dan Abu Al-Hasan Al-Maghribi (w. Abad ke-7/13) masing-masing
secara berturut-turut mengajarkan mazhab-mazhab Syafi'i, Hanafi, Hambali dan Maliki.
Acara lain adalah penyaringan calon mahasiswa yang menghasilkan 72 orang untuk
setiap mazhab (total 288 orang), yang kemudian akan menetap di asrama dengan
beasiswa terjamin. Al-Syams' Ali Al-Kutubi diangkat menjadi pustakawan. Perhatian
penuh dari Khalifah membuat madrasah ini beroperasi dengan baik dan periode ini adalah
paling gemilang dalam sejarah madrasah Al-Mustansyiriah.
Periode kedua, sepanjang kekuasaan Mongol atau Dinasti Ilkhan (658-738 H/1258-
1337M).Kehancuran yang ditimbulkan oleh pasukan Mongol di setiap daerah yang
mereka taklukkan terlukis dalam hampir setiap buku sejarah. Baghdad bukan suatu
pengecualian. Kejatuhannya ke tangan Hulagu didahului oleh kehancuran serius
madrasah Al-Mustansyiriyah. Seperti halnya lembaga-lembaga lain, madrasah ini turut
menderita: beberapa stafnya terbunuh dan sebagian buku koleksi perpustakaannya
musnah atau diambil sebagai rampasan perang. Yang lebih berpengaruh, adalah rasa takut
yang disebarkan pasukan Mongol. Ini menimbulkan gelombang perpindahan ulama dari
Irak ke Damaskus, Aleppo, Kairo, Makkah atau tempat lain yang lebih tenang. Peraturan
tentang wakaf yang diterapkan oleh penguasa baru ini seringkali tidak mendukung
kemajuan lembaga pendidikan. Ini adalah salah satu masalah lain yang harus dihadapi
Madrasah Al-Mustansyiriah pada periode ini. Secara keseluruhan kondisi pendidikan di
Baghdad semakin mundur dibanding sebelumnya.
Periode ketiga, adalah dari jatuhnya kekuasaan Mongol (739 H/1338 M) sampai
pertengahan abad ke-12 H/18 M. Keadaan pada periode ini menunjukkan bahwa
madrasah Al-Mustansyiriyah ditakdirkan untuk tidak bangkit dari keruntu-hannya yang
telah bermula sejak abad ke dua belas. Perlahan-lahan, lembaga yang pernah jaya ini
tenggelam dalam gelombang sejarah yang sedang menuju era modern. Pada pertengahan
abad ke-12 H/18 M, meski bangunan fisiknya masih ada, tidak ditemukan lagi kegiatan
pendidikan di dalamnya. Dan penguasa Turki Usmani tampaknya tidak mempunyai
keinginan untuk membangunnya kembali.
e. Madrasah Al-Manshuriyah Kairo
Madrasah Al-Manshuriyah didirikan oleh penguasa Dinasti Mamalik, Al-Manshur
Qalawun (678-689 H/l280-1290 M). Madrasah ini termasuk menarik, bukan saja karena
kebesaran bangunan fisiknya, tetapi juga karena variasi pengajaran yang berlangsung di
________________________________________
Page 33
dalamnya. Laporan Al-Maqrizi (w. 845 H/l441 M), sejarahwan besar Mesir abad
pertengahan, menunjukkan bahwa madrasah ini mengajarkan fiqih sesuai dengan mazhab
yang empat. Di samping iru tersedia pengajaran ilrnu kedokteran (thibb), hadits, tafsir,
dan ceramah-ceramah umum. Hanya ulama dan mahasiswa terbaik yang diterima untuk
mengajar atau belajar di lembaga ini.
Termasuk bagian dari madrasah ini adalah Menara Al-Manshruriyah (al-Qubbah al-
Mansyuriyah) dengan satu kompleks pemakaman bagi beberapa sultana Dinasti Mamalik.
Al-Manshur dan para sultan yang lainnya, juga mewakafkan sejumlah besar kitab dalam
segala bidang ilmu kepada perpusta-kaan madrasah ini. Prestise madrasah Al-
Manshuriyah runtuh seiring dengan runtuhnya pengaruh Bani Qalawun di Mesir.
f. Madrasah Granada (Al-Nashriyah) Di Andalusia
Madrasah pertama yang didirikan di Andalusia adalah madrasah Granada yang
didirikan pada tahun 750 H/1349 M pada zaman Abu Abdillah Muhammad ibn
Muhammad ibn Yususf I. Usaha ini merupakan pengaruh perkembangan madrasah di
Maroko. Usaha pertama mendirikan madrasah di Granada bermula ketika Abu Abdullah
Muhammad bin Muhammad binYusuf, sultan Granada pada tahun 671-701 H/ 1272-1302
M, menyiapkan rumah untukAl-Ruquthi setelah dia sampai di Granada dari Murcia.
Al-Ruquthi sebelumnya adalah seorang ulama Islam terkenal yang memipin
madrasah Murcia. Madrasah ini didirikan oleh Alfonso X, seorang raja Kristen. Ketika
menduduki kota Murcia, Alfonso X menemukan seorang ulama Islam, al-Rauquthi, yang
mendalami berbagai ilmu pengetahuan, di antaranya mantiq, tehnik, kedokteran dan
filsafat. Madrasah itu kemudian diserahkan Alfonsho X kepadanya dan memberinya
hadiah dan fasilitas dengan harapan suatu saat akan memeluk agama Kristen. Mengetahui
hal itu, Sultan Granada lalu membangun madrasah Granada ini dan memanggil Al-
Raquthi untuk mengajar di Granada. Akhirnya Al-Raqhuti meninggalkan Alfhonso X dan
pindah ke Granada.
Madrasah ini merupakan pusat pendidikan yang paling masyhur di Andalusia
setelah mesjid Cordova. la dibangun pada masa sultan Granada, Abi al-Hajaj Yusuf I
(733-755 H/1333-1354 M) atas usaha al-Hajib Ridhwan al-Nashri. Bangunan madrasah
ini selesai dibangun pada tahun 749 H dan diresmikan pada tahun 750 H. Madrasah ini
disebut sebagai yang paling utama di Andalusia dan satu-satunya madrasah yang sisa-sisa
kejayaannya masih dapat ditemukan sampai saat ini.
Bangunan Madrasah Nashriyah terdiri dari ruang pertemuan yang luas terletak di
tengah gedung. Disekeliling ruang itu terdapat ruas-ruas lokal dipergunakan untuk
belajar-mengajar. Ditingkat atas terdapat tempat tinggal untuk para penuntut ilmu yang
datang dari jauh. Diujung lapangan terdapat sebuah mushalla kecil. Patut dicatat bahwa di
samping madrasah ini terdapat penginapan yang menyatu dengan mesjid Granada. Ini
mengandung makna kemungkinan dipergunakannya penginapan untuk para mahasiswa
yang jauh dan para tamu yang berkunjung dan sekedar berdisikusi di madrasah ini. Selain
itu, perpustakaan menjadi sentra utama bagi kelangsungan perkembangan Ilmu
________________________________________
Page 34
pengetahuan di madrasah tersebut. Pengadaan buku-buku perpustakaan juga dibantu oleh
pemerintah.
Para guru madrasah Al-Nashriyah adalah ulama terkenal di Andalusia. Pemerintah
ikut campur tangan menentukan guru-guru tersebut, di samping diperlukannya referensi
dari ulama terkemuka seperti Manshur al-Zawawi yang mendapat referensi dari Syekh al-
Nuhat al-Khaulani. Di antara guru-guru tersebut adalah: Ibrahim bin Ali bin Muhammad
al-Rabi'I al-Tuni (w.874/ 1469) mengajar fiqh dan ushul fiqh. Ibrahim bin Muhammad
bin Futuh al-Uqalli al-Andalusi (w.867/1462) seorang mufti Granada mengajar fiqh
Maliki. Abu Muhammad bin Abdillah bin Abi al-Qasim bin Jauzi (w.757/1356) seorang
sastrawan dan hafizh (penghafal al-Qur'an), mengajar bahasa Arab dan pengetahuan
bahasa asing. Faraj bin Qasim bin Lubb al-Tsa'labi (w.780/1378), mengajar bahasa Arab,
fiqh, tafsir dan ushul fiqh. Muhammad bin Muhaam bin Maharib al-Shuraihi (w.
750/1349), mengajar faraidh, hisab (berhitung), ushul fiqh dan ilmu-ilmu 'aqliyah
(rasional) lainnya.Yahya bin Ahmad bin Huzail al-Tujaini (w.753/1352), mengajar ilmu
kedokteran, teknik dan hisab.
Di samping Madrasah Al-Nashriyah yang besar itu, di Granada juga terdapat
madrasah-madrasah kecil di antaranya adalah: madrasah al-Qumhiyah, Al-Saifiyah, al-
Fadhliyah dan Dar el-Hadits yang dibangun oleh al-Malik al-Kamil yang kemudian diberi
nama madrasah al-Kamiliyah. Madrasah-madrasah kecil ini berkembang mengikuti irama
perkembangan madrasah Al-Nashiriyah di Andalusia. Sayangnya, tidak banyak ahli
sejarah pendidikan Islam yang mengupas secara detail tentang perkembangan madrasah-
madrasah kecil ini, sehingga kita tidak cukup punya data untuk mengungkapkannya.
Tetapi, keberadaannya tetap memberikan arti penting bagi perkembangan madrasah di
Andalusia.
g. Madrasah Malaga, Cordova
Di Malaga terdapat sebuah mesjid jami' sebagai pusat pengembangan ilmu
pengetahuan. Di mesjid Jami' ini didirikan sebuah madrasah dengan nama madrasah
Malaga atau Uzhma. Di madrasah ini mengajar seorang faqih, Muhammad bin
Muhammad binYusuf al-Thanjali (w.733 H/l 332M). Di samping madrasah yang berada
di mesjid ini terdapat pula madrasah lain yang didirikan oleh seorang sufi, Muhammad
bin Muhammad bin Abdul Al-Rahman bin Ibrahim al-Anshari (678-754/1279-1353). Dia
membangun madrasah ini dari harta yang diberikan oleh orang-orang kaya dan para
pejabat kepadanya.
40
Masih banyak madrasah yang kemudian berkembang menjadi sebuah Al-Jamiah.
Al-Azhar sebagai tipikal madrasah tinggi tertua di dunia merupakan salah satu contoh
perkembangan pesat madrasah. Menurut Azyumardi Azra, Al-Azhar adalah al-Jamiah
yang muncul paling awal dengan potensi sebagai "lembaga Pendidikan Tinggi: yang
memiliki kronologi runtun perkembangan jenjang pendidikan dalam Islam, dari mulai
Masjid, halaqah sampai kemudian madrasah dan Al-Jamiah. Di samping itu, juga ada
40 Muhammad Abdul Hamid Isa, Tarikh al-Ta'limfi al-Andalas (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1982),
h. 387.
________________________________________
Page 35
madrasah tinggi Zaituna di Tunisia dan Qarawiyyin di Fez.
h. Madrasah Khusus
Pada umumnya madrasah mengajarkan fiqih sebagai kajian utama ditambah dengan
pelajaran-pelajaran lain. Di samping itu, ada pula madrasah yang dikenal sebagai
madrasah khusus. Madrasah semacam ini ini mengabdikan pengajarannya pada bidang
tertentu/khusus. Ada madrasah yang khusus mengkaji tafsir, ada ilmu nahwu, dan pula
ilmu sharaf. Al-Nuaymi, misalnya, menyebut setidaknya ada tiga madrasah di Damaskus
yang secara khusus mengajarkan Ilmu Kedokteran (Madaris al-Thibb) yaitu: Madrasah
Al-Dikhwariyah, Madrasah Al-Dunaysiriah dan Madrasah Al-Labudiyah.
Al-Dikhwariyah dibangun pada 621/1224 oleh MuhadzhdzabAl-DinAl-Dikhwar
(w.628/1231) yang kemudian menjadi guru pertama madrasah ini. la dianggap pakar
terbaik di bidang ilmu kedokteran pada masa itu, pengarang beberapa buku, termasuk
sebuah ringkasan karya Al-Razi (w.313/925), al-Hawi. Al-Dunaysiriyah dibangun oleh
Ibn ahmad Al-Dunaysiri (w. 766/1365) setelah kembali dari Mesir tempat ia belajar
berbagai cabang ilmu dari para ulama sezamannya. la juga merupakan pengarang buku
Kedokteran. Madrasah Al-Labudiyah, setelah dibangun pada 664;/l 266 oleh Najm Al-
Din Al-Labudi, mengalami kehancuran tetapi direstorasi pada 949/ 1542 dan masih tetap
berada di tempat pertamanya. Mereka yang mengajar di madrasah Labudiyah ini adalah
orang yang terkenal dengan reputasi kedokterannya. Sayang, belum ada literatur yang
menjelaskan tentang siapa yang mengajar dan bidang kedokteran apa saja yang diajarkan.
Di bagian lain, masih dalam karya yang sama, Nuaymi menerangkan bahwa Ibn Al-
Juzri pernah membangun sebuah madrasah yang diabdikan untuk ilmu qira'at, tetapi ia
kemudian menamainya dengan Dar Al-Quran, satu jenis lembaga yang tumbuh
mengiringi pertumbuhan dan perkembangan madrasah umum dan khusus.
Seorang bangsawan yang kemudian menjadi salah seorang sultan Dinasti
Ayyubiyah, Al-MalikAl-Mua'adhdham Syaraf Al-Din (615-624 H/l218-1227 M) adalah
seorang penggemar ilmu pengetahuan. Pada tahun 604/1208 ia membangun sebuah
madrasah yang khusus mengajarkan ilmu-ilmu bahasa Arab. Madrasah ini kemudian
dikenal dengan nama Madrasah al-Nahwiyyah, terletak di Jerusalem (Al-Quds). Seorang
Syaikh dan 25 orang mahasiswa dibiayai untuk mendalami dan mengem-bangkan bidang
kajian bahasa di madrasah ini. Syams Al-Din bin Razin mendapat kesempatan pertama
menjadi Syaikh di madrasah ini.
Berkenaan dengan madrasah khusus didirikan untuk mendalami Al-Quran, di
antaranya adalah: Madrasah al-Qur'an al-Dailamiyyah dan Madrasah al-Qur'an al-
Shabuniyyah, di Damaskus.
Madrasah Al-Qur'an Al-Dailamiyah, dibangun pada 847/1443 oleh penguasa
Dailamiyah, Ibn 'Izz al-Din dan dibekali dengan wakaf untuk menjamin kelancaran
program yang ia inginkan dan dilaksanakan oleh lembaga wakaf ini. Bayangan dari
kebesaran lembaga yang biasa disebut Dar al-Qur'an ini bisa dikonstruksikan secara garis
besar dengan melihat staf-staf serta jumlah dana yang digunakan dalam operasinya. Al-
________________________________________
Page 36
Dailamiyah mempunyai seorang imam yang berfungsi sebagai syaikh Al-Quran; seorang
al-ayyim (direktur) yang bertanggung jawab atas administasi kegiatan dan wakaf; enam
mahasiswa tamu (al-fuqara' alghuraba'al-muhajirinfiqira'at al-Qur'an) di samping
mahasiswa yang berasal dari Damaskus sendiri; dua orang pegawai untuk membantu
direktur; seorang qari yang khusus bertugas membaca al-Qur'an setiap hari Selasa; dan
seorang syaikh al-Qur'an yang bertugas mengajar anak yatim di sebuah maktab al-Qur'an
yang menjadi bagian dari madrasah al-Qur'an ini. Biaya tahunan dari madrasah yang
mencapai 9.740 dirham ini, menunjukkan bahwa kegiatannya tidak kalah dengan
kegiatan lembaga madrasah pada umumnya. Syams Al-Din al-Baniyasi adalah imam dan
syaikh pertama Dar al-Qur'an al-Dailamiyah.
Adapun mengenai Madrasah al-Qur'an al-Shabuniyah, Damaskus, walau tidak
terlalu banyak informasi yang dapat diterangkan, tampaknya madrasah ini cukup
menarik. Selesai dibangun pada 868/1464 oleh Ibn Muhammad al-Bakri al-Shabuni.
Lembaga ini mempunyai seorang khatib (al- Bauni), imam (al-Jibriti) dan muazzin, di
samping tentunya, syaikh al-Qur'an dan sepuluh seorang mahasiswa. Seperti al-
Dailamiyah, Dar Al-Qur'an ini mempunyai maktab untuk sepuluh orang anak yatim. Hal
menarik dari informasi al-Nuaymi adalah wakif (pemberi wakaf) Dar al-Qur'an ini
mensyaratkan bahwa khatib adalah dari mazhab Hanafi dan berasal dari keluarga
Jibritiyah; dan administrasi dari lembaga ini akan terus berada di tangan waqif (pemberi
wakaf) dan anak cucunya. Kesan yang muncul dari informasi ini adalah bahwa sistem
wakaf Dar al-Qur'an itu tidak jauh berbeda dari, atau sangat dipengaruhi oleh, sistem
wakaf yang diikuti dalam pembangunan madrasah. Persoalan mazhab tetap signifikan dan
kontrol tetap mutlak di tangan pemberi wakaf, kecuali bila ia menginginkan lain.
3. Kegiatan Rutin di Madrasah
Mereka yang menjalani pendidikan tingkat tinggi di madrasah dituntut untuk belajar
ekstra keras. Oleh karena itu hanya orang-orang yang memiliki kecintaan mendalam
terhadap kehidupan intelektual saja yang dapat menjalani kehidupan sebagai penuntut
ilmu di madrasah. Kegiatan belajar sangat ketat, padat dan tak mudah untuk diikuti.
Jumlah waktu yang dibutuhkan seorang mahasiswa dalam satu bidang studi tertentu
sangat bervariasi sesuai dengan tujuan masing-masing mahasiswa. Studi fiqih biasanya
membutuhkan waktu empat tahun, tetapi mahasiswa boleh belajar lebih lama sepanjang
menurut pertimbangannya dan pertimbangan syaikhnya penambahan waktu tersebut
dibutuhkan untuk menghasilkan satu tingkat pengetahuan dan keahlian tertentu. Biografi
para pengajar madrasah menunjukkan bahwa sebagian besar mereka menghabiskan tidak
kurang 20 tahun untuk belajar di bawah arahan guru terdahulu mereka.
Jadwal kegiatan hari-hari normal di madrasah dan mesjid berangsur menjadi
seragam, dimulai dan diakhiri dengan doa. Ini bisa dikaitkan dengan shalat wajib Shubuh
dan Isya, atau bisa juga dalam satu waktu khusus. Waktu setelah shubuh biasanya
digunakan untuk membaca al-Qur'an, diikuti dengan taffakur. Berikutnya sang syaikh
memulai pengajaran formal biasanya dalam bentuk satu ceramah dari silabusnya dimana
ia menyajikan materi baru atau mendiskusikan materi pada pertemuan sebelumnya.
Waktu berikutnya dimanfaatkan untuk diskusi debat. Pada penggal waktu ini mahasiswa
________________________________________
Page 37
bisa secara aktif terlibat dalam pengalaman pendidikan, mengadu kecerdasan dan
keahlian mereka dalam berdebat dengan sesama mahasiswa serta syaikhnya. Periode ini
biasanya dipimpin langsung oleh syaikh, yang berakhir pada tengah hari dan ditutup
dengan doa secara formal.
Pada sore hari, mu'id (assisten syaikh) mengulangi materi yang pada pagi hari
disampaikan oleh syaikh dan membantu mahasiswa yang mendapatkan kesulitan dengan
berbagai konsep. Kegiatan ini berlangsung secara non-formal sepanjang sore sampai
malam hari. Oleh karena hafalan mendapat tempat istimewa dalam kurikulum,
mahasiswa menghabiskan banyak waktu untuk menghafal sepanjang sore dan malam
hari. Seorang syaikh bisa saja menjadwalkan perkuliahan formal setiap hari. Tetapi
umumnya mahasiswa diberi tiga hari biasanya Selasa, Jumat dan Sabru untuk belajar
sendiri dan melakukan aktivitas pribadi. Hari Jumat, hari besar Islam, seringkali diisi
dengan debat khusus antara staf pengajar dengan mahasiswa, ditambah dengan ceramah-
ceramah ilmiah. Madrasah secara formal diliburkan sepanjang bulan Ramadhan.
Mahasiswa dikelompokkan berdasarkan tingkatan yang menunjukkan kemajuan
belajar, jumlah beasiswa yang diterima (kalau ada), bidang studi yang ditekuni dan
tingkat keterlibatan dalam aktivitas kelas. Tingkatan kemajuan belajar dibagi menjadi:
tingkat pemula, menengah dan akhir. Partisipasi kelas merujuk pada perbedaan antara
mahasiswa aktif (yaitu yang menerima beasiswa untuk tugas belajar tertentu) dan
mahasiswa pendengar (ikut kuliah saja tanpa tugas perkuliahan).
Pengelompokan lain di kalangan mahasiswa juga dapat dilihat pada kedekatannya
dengan syaikh. Ada mahasiswa yang diterima sebagai mahasiswa khusus oleh seorang
syaikh. Mereka adalah mahasiswa yang terpilih untuk duduk di dekat syaikh dalam
halaqah. Sang syaikh akan mengajarkan mereka secara lebih mendalam dengan harapan
bahwa sebagai mahasiswa pilihan mereka akan menyebarkan karya dan reputasinya ke
daerah-daerah lain atau untuk menggantikannya kelak sebagai syaikh di madrasahnya.
Seorang syaikh dan mudarris hanya memberikan status ini kepada mahasiswa terbaiknya.
Hal ini berarti bahwa syaikh telah menerima mahasiswa bersangkutan ke dalam
kelompok pengikutnya. Istilah yang dipakai adalah shuhbah (persahabatan) dan status ini
memungkinkan seorang mahasiswa berhubungan secara lebih akrab dengan syaikhnya.
Sejak menerima status ini ia akan memperoleh perhatian khusus dari syaikhnya yang
akan membimbing dan mendorong perkem-bangan intelektualnya.
Untuk menambah loyalitasnya kepada syaikh, mahasiswa biasanya membela
pandangan-pandangan syaikhnya itu. Dengan menerima beberapa mahasiswa menjadi
shuhbah, soerang syaikh bisa memperhitungkan kelanjutan dan penyebaran pandangan-
pandangannya. Beberapa orang di antara para shuhbah, mungkin akan diangkat menjadi
asisten atau murid pada bagian akhir masa belajarnya; dan untuk ini mereka akan
mendapatkan bayaran yang sesuai.
Ketika seorang mahasiswa merasa telah siap dalam bidang tertentu, ia maju untuk
menjalani ujian lisan. Jika penampilannya memenuhi standar yang ditentukan syaikhnya,
ia akan menerima ijazah sebuah surat yang menyatakan kelayakannya untuk mengajar
satu bidang studi tertentu. Jika ia adalah mahasiswa fiqih, ia akan menerima pengakuan
________________________________________
Page 38
dalam mengeluarkan fatwa. Mereka yang mendapatkan ijazah di bidang fiqih bisa
meninggalkan halaqah dan madrasahnya dan mencoba mem-bangun karirnya sendiri
secara profesional di lembaga lain yang serupa, atau menjadi pegawai pemerintah sebagai
mufti atau di arena diplomatik, politik dan sebagainya. Setelah mencapai status ilmuwan
tertentu dengan reputasi tertentu, dia mungkin akan ditawari jabatan syaikh di masjid atau
madrasah.
4. Kurikulum Pendidikan dan Metode Pengajaran Madrasah Pada
Masa Klasik Islam
Para ahli sejarah membagi periodesasi sejarah pendidikan Islam jika dihubungkan
dengan perkembangan lembaga pendidikannya menjadi tiga periode yaitu: masa klasik,
masa pertengahan dan masa modern. Muhammad Jawad Ridha dalam "AI-Fikrul al-
Tarbiyah al-Islamiyah", menjabarkan ketiga fase tersebut sebagai berikut: Pertama,
terhitung mulai masa Nabi hijrah sampai berdirinya Dar al-Hikmah di Baghdad; Kedua,
terhitung mulai berdirinya Dar el-Hikmah sampai berdirinya Madrasah Nizhamiyah;
Ketiga, sejak berdirinya madrasah Nizhamiyah sampai runtuhnya khilafah Utsmaniyah.
Beberapa pakar menyebut batasan pendidikan Islam dari zaman Nabi Muhammad
SAW. sampai pada perkembangan ilmu pengetahuan di Baghdad, Mesir dan sekitarnya
(Renaissance Islam). Pembatasan waktu yang dilakukan para ahli sejarah pendidikan
Islam itu dari mulai klasik sampai modern cenderung lebih mengedepankan aspek
kelembagaannya ketimbangkan aspek sistem, kurikulum dan metode pendidikannya.
Oleh karena itu, sedikit sekali literatur tentang perkembangan aspek tersebut sampai saat
ini.
Istilah pendidikan Islam klasik dalam tulisan ini adalah suatu proses kegiatan
belajar mengajar yang dilakukan individu, kelompok tertentu atau pemerintah/lembaga
pemerintah, formal atau non-formal dalam periode tertentu pada masa pertumbuhan dan
perkembangan Islam. Kegiatan itu di lakukan di rumah-rumah, majlis, masjid/halaqah
dengan jenjang pendidikan dasar (kuttab), menengah (masjid/masjid khan, zawiyah)
sampai tingkat tinggi (madrasah/al-Jamiah).
Meskipun pembagian periode dalam pendidikan Islam merupakan sebuah
matarantai yang saling bersambungan dengan periode-periode lainnya, namun masing-
masing periode memiliki kekhasan tersendiri baik dari segi kurikulum pendidikan
maupun metode pengajarannya. Di bawah ini kita akan membahas kurikulum pendidikan
dan metode pengajaran madrasah pada masa klasik Islam. Di bagian akhir kita juga akan
menyinggung bagaimana kurikulum dan metode pengajaran tersebut dinilai atau
dievaluasi.
a. Kurikulum Pendidikan di Madrasah
Yang dimaksud dengan kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus
ditempuh atau dipelajari oleh siswa dalam suatu periode tertentu. Dalam arti yang lebih
luas, kurikulum sebenarnya bukan hanya sekadar rencana pelajaran, tapi semua yang
________________________________________
Page 39
secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah.
41
Dengan kata lain, kurikulum
mencakup baik kegiatan yang dilakukan pada jam belajar maupun di luar jam belajar,
sepanjang hal itu berlangsung di lembaga pendidikan. Karena itu ada istilah ekstra-
kurikuler, yaitu berbagai kegiatan yang dilakukan di luar jam tatap muka di ruangan
kelas. Akan tetapi, tentu saja kurikulum dalam pengertian seperti itu baru dikenal pada
sistem pendidikan modern, baik sekolah maupun madrasah. Pada masa sebelumnya,
meskipun sudah dikenal, muatan kurikulum tidak seketat pengertian tersebut.
Kurikulum pendidikan madrasah merupakan pengem-bangan lebih lanjut dan lebih
"standar" (dalam arti dapat digunakan secara seragam oleh siapa saja) dari kurikulum
yang pernah dikenal pada masa Nabi Saw.. Kurikulum pendidikan pada masa Nabi Saw.
ditentukan secara pribadi oleh beliau sendiri yang bertindak sebagai perancang
pendidikan, konsultan sekaligus guru. Pada saat itu belum ada undang-undang pendidikan
yang mengatur segala bentuk pengelolaan dan pengembangan pendidikan. Pada masa
Khulafa al-Rasyidun dan Bani Umayyah kurikulum pendidikan ditentukan oleh para
ulama dan khalifah yang memerintah pada masa itu. Sementara itu pada masa Dinasti
Abbasyiah, ketika lembaga pendidikan model madrasah sudah mulai dikenal, kurikulum
dan metode pendidikan diurus oleh ulama, sedangkan khalifah tidak terlalu dominan
dalam menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan. Ini dilakukan dalam kerangka
penghormatan mereka terhadap otorita lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu
pengetahuan yang dilakukan para ulama., selain karena mereka disibukkan dengan urusan
politik.
Sepanjang masa pendidikan klasik Islam, penentuan pengembangan pendidikan
dasar, menengah dan tinggi berada di tangan ulama kelompok orang-orang
berpengetahuan dan diterima secara otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum.
Keyakinan mereka berakar pada konservatisme agama dan keyakinan kokoh terhadap
wahyu sebagai inti dari semua pengetahuan. Mengikuti arus penolakan atas aliran yang
diilhami filsafatYunani terutama pasca al-Ghazali, kurikulum pendidikan belum
terbentuk secara baku dalam bentuk peraturan, tetapi kurikulum dan metode di masjid,
akademi dan madrasah mengikuti pola-pola yang dikembangkan dari majlis dan halaqah-
halaqah ilmiah. Dengan demikian, yang dibicarakan dalam pengembangan madrasah
lebih difokuskan pada kurikulum dan metode pengajaran saja.
Hasan Asari memberikan penjelasan tentang kurikulum madrasah dengan konsep
awal klasifikasi ilmu pengetahuan yang diajarkan di madrasah. Untuk memahami
kurikulum madrasah secara lebih luas, menurutnya, perlu memahami perkembangan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam yang dikembangkan para ulama dan ilmuwan Muslim.
la mengutip pendapat Ibn Buthlan (w. 460/1068), seorang ahli kedokteran, berdasarkan
riwayat Ibn Abi Ushaybi'ah, yang mengelompokkan ulama yang wafat pada sekitar
pertengahan abad ke-5/11 ke dalam tiga kelompok berdasarkan cabang ilmu yang
ditekuni yaitu: 1) ilmu-ilmu keagamaan; 2) ilmu-ilmu klasik (filsafat Yunani, filsafat
(Timur) Persia dan sebagainya, yang disebut al-azua'il)., dan 3) ilmu-ilmu sastra (adab).
41 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persfuktif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 53.
________________________________________
Page 40
Makdisi, seperti diungkapkan Hasan Asari menulis:
Nilai penting dari interrelasi ketiga kelompok (pengetahuan) ini paling baik
diibaratkan dengan sebuah segitiga sama kaki yang terbalik. Dua kelompok pertama
berada pada posisi dua ujung dasar segitiga yang telah terbalik ke atas dan kelompok
ketiga ada pada puncak segitiga yang dibalik dari atas ke bawah. Ilmu-ilmu kelslaman
menduduki tempat terhorn.at pada sebelah kanan, filsafat dan ilmu-ilmu alam di sudut
sebelah kiri pada level yang sama dan ilmu-ilmu sastra berada pada sudut yang lebih
rendah, dengan dua sisinya menuju pada dua kelompok yang lebih tinggi.
Ilmu-ilmu keislaman memegang kontrol penuh dan menjadi unsur penting bagi
lembaga-lembaga pendidikan. Naiknya ilmu-ilmu ini mulai terjadi secara nyata setelah
gagalnya gerakan rasionalis (teologi Muktazilah dan filsafat) dan mencapai puncaknya
pada pertengahan abad ke 5 H/l 1 M. Dalam kelompok mi, hukum Islam (fiqh) dianggap
sebagai satu dari segala cabang pengetahuan dengan peringkat yang tertinggi, sementara
ilmu-ilmu sastra berfungsi sebagai pelayannya. Kelompok lainnya, yang disebut ilmu-
ilmu kuno, yaitu ilmu-ilmu yang berasal dariYunani ditentang oleh sarjana Muslim di
tengah masyarakat, tetapi memperoleh penghormatan secara terselebung di kalangan
sebagian terpelajar.
Keterangan di atas cukup menggambarkan secara garis besar kurikulum pendidikan
yang diajarkan di madrasah. Ilmu-ilmu agama sangat jelas mendominasi madrasah,
seperti juga di lembaga masjid atau masjid khan. Sejauh pengamatan ahli sejarah
pendidikan Islam, belum ada rincian yang jelas tentang kurikulum satu madrasah. Hal-hal
ini dianggap sulit apabila dihubungkan dengan sifat-sifat madrasah. Pertama, tidak
adanya ikatan organisatoris antara satu madrasah dengan yang lain. Setiap madrasah
bebas menentukan materi dan bentuk pengajarannya sendiri sesuai dengan keinginan
pemberi waqaf (waqif) yang mendukung operasinya. Kedua, setiap Syaikh atau mudarris
bebas memilih bidang yang diajarkan.
Jadi, sebagai kesimpulan umum, kurikulum madrasah terdiri dari ilmu-ilmu agama
seperti: ilmu al-Qur'an, hadist, tafsir, fiqih, ushul fiqih, ilmu kalam dan lain-lain yang
tergolong kelompok ilmu-ilmu keagamaan Islam ini. Ilmu-ilmu sastra yang dibutuhkan
untuk mendukung ilmu-ilmu agama juga diajarkan di madrasah, tetapi tidak menjadi
bagian utama dari kurikulum. Deskripsi madrasah terdahulu menunjukkan bahwa ahli
bahasa arab (nahwi) adalah bagian dari staf di beberapa madrasah, namun posisinya jelas
tidak sepenting posisi mudarris yang mengajar ilmu-ilmu agama. Ilmu-ilmu klasik belum
diajarkan kecuali Filsafat, Kedokteran dan Astronomi, tetapi tidak begitu dominan,
karena pelajaran ini memiliki lembaga pengajaran tersendiri (khusus).
Di dalam pengembangan kurikulum khususnya pelajaran agama, madrasah
mempunyai satu persoalan yaitu mengenai pelajaran Kalam. Para ahli menyebutkan
bahwa Ilmu Kalam tidak mendapat tempat dalam kurikulum madrasah. Sementara, yang
lain, berpendapat bahwa Ilmu Kalam mendapat tempat pada kurikulum madrasah. Untuk
soal pertama, George Makdisi menulis bahwa madrasah bukanlah lembaga pengajaran
Kalam tetapi lembaga pengajaran fiqih (hukum). Kemenangan aliran Asy'ariyah atas
________________________________________
Page 41
Muktazilah tidak ada hubungan dengan pembangunan madrasah Nizhamiyah dan
madrasah tersebut bukanlah lembaga resmi pemerintah, tetapi lembaga yang dibangun
oleh wazir Nizham al-Mulk karena kapasitasnya sebagai pribadi muslim. Makdisi
menulis:
Madrasah adalah lembaga pendidikan tinggi (colleges) hukum, dengan beberapa
kajian tambahan. Staf pengajarannya tidak mencakup ahli kalam. Pengajar yang
mendapat gelar guru besar (professor) adalah pengajar hukum. Mungkin saja ia juga
sebagai ahli kalam, tetapi kapasitasnya lebih kepada ahli hukum (guru besar hukum).
Di Madrasah tidak ada posisi untuk mengajarkan kalam.
Sisi lain dari tesis Makdisi adalah melibatkan satu argumen linguistik berkaitan
dengan satu istilah teknis yang secara luas dipakai dalam dunia pendidikan Islam pra-
modern, sebagaimana terlihat dari sumber-sumber sejarah yang ada. Argumen linguistik
ini mencakup semua istilah paedagogis yang berasal dari akar kata "d-r-s". Argumen ini,
terutama digunakan oleh Makdisi untuk mendukung pernyataannya bahwa madrasah
(salah satu kata jadian d-r-s) adalah lembaga pendidikan fiqih. Makdisi menjelaskan:
Justifikasi penerjemahan kata [madrasah] ini menjadi lembaga pendidika tinggi
hukum [college of law] dapat ditemukan dalam arti teknis kata jadian dari akar kata d-r-s.
Istilah untuk hukum adalah fiqih. Sebuah pelajaran fiqih disebut dengan dars; seorang
guru besar fiqih adalah mudarris; dan darrasa, dalam penggunaannya bila tidak dikaitkan
dengan ilmu tertentu, berarti mengajarkan fiqih,..... darrasa dan tadris,
secaraberturut,berarti mengajarkan hukum dan hal-hal yang berhubungan dengan
pengajaran hukum.
Dan akhirnya istilah madrasah nama satu tempat (ism makan) dimana sebuah dars,
yakni satu pelajaran fiqih, adalah merupakan kegiatan utama dari guru dan murid. ....
tidak ada madrasah yang digunakan untuk tujuan utama yang lain; pengajaran disiplin-
disiplin semacam ilmu Qur'an, hadits, nahu dan sebagainya hanyalah [kegiatan]
sampingan.
Dengan menunjukkan bahwa Madrasah Nizhamiyah tidak mempunyai guru ilmu
kalam (teologi), ditambah dengan argumen linguistik yang menyimpulkan bahwa
madrasah adalah lembaga pengajaran hukum, adalah wajar kalau kemudian Makdisi
menyatakan bahwa kebangkitan aliran teologi Asy'ariyah tidak ada hubungannya dengan
madrasah, persis sama dengan pendahulunya, masjid. Bagi Nizham al-Mulk, fungsi
madrasah mengajarkan salah dari mazhab yang empat.
Makdisi membantah Goldziher dalam kaitan soal antara ilmu kalam dengan
madrasah. Goldziher menyebut bahwa madrasah Nizhamiyyah adalah prototipe lembaga
pendidikan yang mengajarkan ilmu kalam dengan alasan bahwa pembangunan itu atas
kemenangan paham Asy'ariyah terhadap muktazilah dan Hanbaliyah. Goldziher melihat
teologi yang dianut Nizham al-Mulk sebagai kurikulum utama pengajaran di madrasah
yang ia bangun, dan madrasah itu, menurutnya, merupakan bagian dari sarana
propaganda untuk meyebarkan paham Asy'ariyah dan menguburkan paham-paham lain.
________________________________________
Page 42
Pandangan ketiga tidak melihat persoalan ini secara hitam putih dan menghasilkan
posisi relatif di tengah. Beberapa penulis dapat dikelompokan ke dalam pandangan ini.
Berikut ini akan kita kutipkan dua penulis dan sejarahwan Arab: 'Abd al-Lathif Tibawi
dan M. Hasan Naqib. Tibawi, dalam satu artikel yang dia tulis sebagai respon terhadap
tesis Makdisi, menyatakan bahwa spesialisasi seperti yang diinginkan oleh Makdisi
adalah hal yang tidak mungkin pada abad ke-5/11. Seseorang sarjana saat itu, menurut
Tibawi, adalah orang yang menguasai berbagai cabang ilmu agama sekaligus, termasuk
dalam hal ini Ilmu Kalam. Tibawi mengakui tidak adanya bukti langsung tentang isi
kurikulum madrasah; namun katanya: "Satu hal kita ketahui secara agak pasti, yaitu
bahwa madrasah melambangkan teologi ortodoks atau filsafat spekulatif dan natural, dan
bahwa keseluruhan ilmu-ilmu agama ('ulum al-diri) termasuk cakupan kurikulum
madrasah.
Sisi lain dari argumen pandangan ketiga ini bertalian dengan argumen linguistik
yang dilontarkan oleh Maksidi. Mudarris bukan satu-satunya istilah yang digunakan pada
masa klasik dan pertengahan digunakan untuk merujuk pada pengajar fiqih di madrasah.
Al-Ghazali menggunakan istilah mu'allim dan ustadz untuk maksud yang sama. Dars juga
tidak selalu berarti pelajaran fiqih sebagaimana dalam pandangan Maksidi. Al-Ghazali
mengutip satu hadits yaitu kata nadrusu (kata jadian dari d-r-s) digunakan untuk kajian
hadits. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam al-Daris, di mana al-Nu'aymi
memberitakan bahwa Abu al-Khayr mengajar pada Dar al-Hadits al-Asyrafiyah; dan
kalimat yang dia gunakan adalah: "wa-walla tadris dar al-hadits al-asyrafiyyah". Abu
Nuwas bahkan menggunakan kata dars untuk pelajaran dari seorang mu'allim (guru) di
kuttab.
Ketidakpuasan terhadap argumen linguistik Maksidi juga dirasakan oleh Naqib
yang, seperti Tibawi, juga meneliti penggunaan istilah-istilah tersebut dalam literatur
Abad Pertengahan. Dia mengatakan,
Dalam pemahaman kita, tadris adalah satu istilah kabur yang mencakup pengajaran
lebih dari satu bidang kajian, dan istilah ini tidak selalu dapat disamakan dengan dars,
yang oleh Maksidi dibatasi hanya untuk pengajaran fiqih. Penelitian kita terhadap istilah
tadris tidak membuahkan satu petunjuk umum sehubungan dengan artinya yang paling
tepat.
Tentang hubungan madrasah dengan Kalam, Naqib menyatakan pandangan berikut:
Madrasah Nizhamiyah adalah madrasah Syafi'iyah, jika jaringan lembaga
pendidikan ini dilihat dalam konteks dokumen wakaf Nizhamiyah Baghdad dan
Isfahan serta afiliasi mahasiswa dan stafnya, terutama pada mudarris, dan untuk siapa
satu madrasah dibangun. Begitupun, Madrasah Nizhamiyah memang menyebarkan
Kalam aliran Asy'ariyah, meskipun aspek ini harus dilihat dalam konteks
kesyafi'iyahan lembaga tersebut,..... kita tidak punya bukti langsung bahwa para
mudarris mengajarkan ilmu kalam di Madrasah Nizhamiyah. Sebelumnya, telah
ditunjukkan bahwa al-Juwaini, yang dipercayakan melaksanakan pengajaran (tadris'),
memang mengajarkan kalam Asy'ariyah kepada sejumlah mahasiswanya, walaupun
________________________________________
Page 43
tidak dapat dipastikan apakah dia melakukan hal ini di Madrasah Nizhamiyah
[Naisapur]. ...... hanya dalam hubungannya dengan wa'izh muballigh, pengkhotbah),
berdasarkan kasus Madrasah Nizhamiyah Bagdad, kita memiliki bukti nyata bahwa
sang wa'idh (juga beberapa mudarris) menyebarkan kalam Asy'ariyah di Nizhamiyah.
Pada akhirnya, keberatan pandangan ketiga ini adalah penekanan yang terlalu
ekstrim olek Maksidi pada sisi fiqih dari madrasah dan hal yang sama pada sisi Kalam
oleh Goldziher. Hal ini terjadi pada Maksidi, nampaknya, karena kecende-rungannya
untuk terlalu memusatkan perhatian pada mudarris dan dokumen wakaf yang ada, dan
tidak memberikan perhatian yang memadai pada staf lain, seperti qari\ nahwi,
pustakawan, dan terutama wa'idh, yang sesungguhnya juga merupakan bagian penting
dari sistem pendidikan di madrasah. Kenyataan bahwa ia menulis sebagai respon kepada
tesis Goldziher, kemungkinan besar, juga merupakan faktor lain. Goldziher jatuh pada
persoalan yang sama tidak lain adalah karena penelitiannya memang terfokus pada
sejarah perkembangan teologi, dan madrasah ia singgung tidak lebih dari sekadar
justifikasi bagi tesis teologinya tentang kebangkitan aliran Asy'ariyah.
Tanpa bermaksud menghentikan konflik pendapat tersebut, ada baiknya
pembicaraan ini dikembangkan pada perkembangan kurikulum madrasah selanjutnya.
Ilmu-ilmu agama memang mendominasi kurikulum lembaga pendidikan formal. Disiplin-
disiplin yang perlu untuk memahami dan menjelaskan makna Al-Quran rumbuh menjadi
inti dari pengajaran yaitu hadits dan tafsir. Seni berpidato juga merupakan bagian penting
dari pendidikan ilmu-ilmu agama, sebab kemampuan untuk menyampaikan ceramah yang
menggugah dan ceramah ilmiah adalah salah satu peran inti seorang ulama dalam
pendidikan dan kehidupan keagamaan di masyarakat. Kemahiran berbicara di tengah
publik mengandung semua aspek pendidikan dan pengalaman.
Seperti dalam sistem retorika Yunani, ilmu-ilmu agama mencakup berbagai
disiplin. Di samping itu, tafsir dan hadits didukung pula oleh logika dan grammatika serta
tergantung pula pada pengetahuan sejarah, geograpi dan kesadaran umum tentang sistem
pemerintahan dan sistem sosial. Ilmu-ilmu agama tidak mungkin diajarkan secara
terpisah, karena itu semakin banyak para pengajar dan ulama mempertimbangkan
pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu untuk mendukung kurikulum pengajaran Al-
Quran dan Hadits.
Pada intinya, fiqih mendapat tempat dalam sistem ini sebagai satu bidang kajian
khusus dalam mazhab tertentu, dan ilmu-ilmu agama yang lain berfungsi sebagai
prasyarat. Di mesjid, mesjid khan, akademi dan madrasah studi fiqih diuraikan oleh
seorang syaikh dalam satu silabus tertentu yang disebut ta'liqah Mated yang terkandung
dalam ta'liqah menjadi latar belakang informasi yang dibutuhkan dalam debat lisan
bentuk lain dari kurikulum pengajaran madrasah. Debat lisan bersifat formal tergantung
pada aturan-aturan logika dan retorika di saat seseorang mempertahankan tesis dalam hal
ini, satu pandangan hukum menghadapi seorang penantang yang akan mencoba
membatalkan argumentasi dan logikanya. Ta'liqah tidak terbatas pada satu bidang saja,
fiqih misalnya, bidang-bidang lainnya juga menggunakan bentuk ini.
________________________________________
Page 44
Selanjutnya, cakupan kurikulum lembaga pendidikan Islam pada abad ke-10 M
dapat dilihat dari berbagai sumber. Salah satunya adalah kitab Al-Fihrist (Indeks) oleh
Ibn Al-Nadim pada tahun 988 M. Sumber kedua adalah karya-karya Ikhwan Al-Shafa,
sebuah persaudaraan sufi yang mengabdikan diri pada peningkatan pendidikan di dunia
Islam, yang mengembangkan program pendidikannya secara menyeluruh dalam
serangkaian risalah. Pendekatan mereka melalui ensiklopedik pendidikan, yang berasal
dari Basrah pada paruh kedua abad ke-10 M, muncul dalam bentuk kompilasi yang
sebagian besar dipakai di dunia pendidikan Islam.Topik-topikyang tercakup dalam
ensiklopedia pengajaran tersebut adalah:
Disiplin Umum: tulis-baca, arti kata dan grammatika, ilmu hitung, sastra (sajak dan
puisi), ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sulap, kimia, dagang dan keterampilan
tangan, jual-beli, komersil, pertanian dan peternakan dan biografi serta kisah-kisah.
Ilmu-ilmu Agama: Ilmu al-Qur'an. tafsir, hadis, fiqih, dzikir, zuhud, tasawuf dan
syahadah.
Ilmu-ilmu filosofis: matematika, logika, ilmu berhitung, geometri, astronomi, musik,
aritmatika, hukum geometri, ilmu alam, antropologi, zat, bentuk, ruang, elemen, gerakan,
kosmologi, produksi, peleburan, metereologi, menerologi, esensi alam dan
manifestasinya, botani, zoologi, anatomi dan antropologi, persepsi inderawi, embriologi,
manusia sebagai mikro kosmos; perkembangan jiwa (evolusi psikologis): tubuh dan jiwa;
perbedaan bahasa-bahasa (pilologi), psikologi (pemahaman dunia kejiwaan dan
sebagainya), teologi; doktrin teologi, doktrin esoteris Islam, susunan alam spritual, serta
ilmu alam ghaib.
Kurikulum ini dianggap sebagai kurikulum madrasah tinggi, karena sudah
mengenalkan begitu banyak pelajaran umum. Tetapi, studi ilmu-ilmu asing itu tidak
semua diajarkan mendetail pada tingkat madrasah umum atau khusus. Ada di antara ilmu-
ilmu itu yang diajarkan pada tataran dasarnya saja, dan tempatnya pun tidak harus di
lembaga formal seperti madrasah. Di rumah, di istana wazir dan pejabat negara,
pelajaran-pelajaran ini lebih kental dikenalkan dan didalami.
Secara umum bentuk kurikulum madrasah pada masa pertumbuhan dan
perkembangan pendidikan Islam klasik menggunakan tiga bentuk kurikulum yaitu
Subject Curriculum, Correlated Curriculum dan Integrated Curriculum. Ketiganya
disesuaikan dengan perkembangan madrasah pada periode-periode tertentu.
Subject Curriculum difokuskan pada materi pelajaran yang diberikan berdiri sendiri,
tidak berhubungan dengan pelajaran yang lain. Dalam subject curriculum, mata pelajaran
diajarkan secara mandiri, dikembangkan berdasarkan keluasan pelajaran tersebut
terhadap ilmu pengetahuannya. Bentuk kurikulum ini biasanya terdapat pada pelajaran
utama, seperti al-Qur'an,Tafsir, Fiqh dan lain-alin. Kemudian pelajaran non-agama seperti
fisika, biologi, ilmu berhitung, kedokteran dsb. Subject Curriculum dikembangkan pada
masa awal berdirinya madrasah dan pertumbuhan pendidikan Islam klasik.
________________________________________
Page 45
Correlated Curricullum difokuskan pada satu materi pelajaran yang dihubungkan
dengan materi pelajaran yang lain. Contohnya, materi tafsir dihubungkan dengan hadits,
pelajaran fiqih dihubungkan dengan hadits dsb. Bentuk kurikulum seperti ini
mendominasi pada masa akhir pendidikan Islam klasik, yaitu ketika ilmu pengetahuan
sudah berkembang dan mengalami renaissance.
Integrated Curriculum yaitu perpaduan antara materi satu dengan yang lain dan
saling berkaitan, sehingga penyajian bahan pelajaran itu dalam bentuk unit. Kurikulum
ini dilaksanakan dalam pengajaran unit, yaitu satu unit mempunyai tujuan yang bermakna
bagi mahasiswa madrasah. Kurikulum ini diberikan di dalam pelajaran retorika (dakwah)
pada masa Madrasah Nizhamiyah sampai pada perkembangan madrasah selanjutnya.
b. Metode Pengajaran di Madrasah
Jenis metode pengajaran yang diberikan di madrasah antara lain: hafalan,
keteladanan, latihan dan praktek. Ini merupakan kelanjutan dari masa Rasulullah
terutama ketika beliau memberikan pelajaran al-Qur'an. Pada perkembangan berikutnya,
pendidikan Islam yang dilakukan di madrasah menggunakan metode talqin, di mana guru
mendikte dan murid mencatat lalu menghafal. Setelah hafal, guru lalu menjelaskan
maksudnya. Metode ini oleh Makdisi disebut sebagai metode tradisional; murid mencatat,
menuliskan materi pelajaran, membaca, menghafal dan setelah itu berusaha memahami
arti dan maksud pelajaran yang diberikan itu.
Hasan Langgulung, menyebut metode pengajaran di madrasah pada masa
pendidikan Islam klasik rnasih belum runtut. Tetapi setidaknya, metode induktif,
deduktif, analogi, bercerita dan metode kunjungan sudah dilakukan. Yang tidak dapat
terlupakan dalam pengembangan metode pengajaran adalah diperkenalkannya metode
tanya-jawab yang biasanya dilakukan dalam sebuah ta 'liqah (perdebatan). Metode ini
dilakukan pada pelajaran yang menuntut penjabaran rinci seperti pada tingkat atas dalam
berbagai pelajaran, sebagaimana dilakukan dalam pembaharuan pendidikan Islam di
Mesir dan Syria (1220 H/1805 M).
Metode pengajaran yang diterapkan di madrasah-madrasah pada masa klasik Islam
tidak bisa dilepaskan, bahkan sangat boleh jadi dipengaruhi langsung oleh tujuan
pendidikan di madrasah itu sendiri. Karena itu di bawah ini akan dibahas sepintas lalu
tujuan-tujuan pendidikan yang dikembangkan di madrasah, baik tujuan institusional,
tujuan kurikuler, maupun tujuan instruksional.
1) Tujuan Institusional Madrasah.
Pada masa pendidikan Islam klasik, rumusan tujuan pendidikan di madrasah secara
institusional sudah ada. Ini terlihat pada motivasi dan pendirian madrasah Nizham al-
Mulk di Baghdad yang bertujuan mengembangkan mazhab Syafi'i, kemudian al-Azhar
pada masa Dinasti Fathimiyah yang mengembangkan mazhab Syiah, setelah itu pada
zaman dinasti Ayyubiyah tujuan institusional al-Azhar diubah untuk mengembangkan
________________________________________
Page 46
faham Sunni.
Pada dekade berikutnya, seiring dengan makin banyaknya madrasah yang dibangun,
tujuan institusional lembaga pendidikan madrasah dikuatkan dengan hadirnya Hanafie
Institute (madrasah Hanafiah) dan Hanbali Institute (madrasah Hanbaliah) seperti The
Shrine college oflbn al-Abradi yang bertujuan mengembangkan ajaran-ajaran Ahmad Ibn
Hanbal. Tetapi pada era berikutnya, seperti pada lembaga Dar El 'Ulum di Baghdad,
tujuan institusional madrasah tidaklagi bertumpu pada pengajaran satu mazhab, tetapi
lebih universal yaitu semua mazhab dengan bentuk-bentuk kelas tertentu.
Al-A'la menjelaskan bahwa tujuan institusional madrasah masih bersifat parsial-
terbatas pada madrasah tertentu saja belum menyeluruh, selain pada masing-masing
jenjang pendidikan. Dengan demikian, pada masa pendidikan Islam klasik tujuan
institusional madrasah dikembangkan sesuai dengan misi utama yang diajarkan oleh para
penyusunnya (ulama) yang mengajar di madrasahnya. Namun, terkadang, misi itu perlu
penyesuaian dengan kepentingan dan aturan/ kebijakan pemerintah.
2) Tujuan Kurikuler Madrasah.
Untuk mengetahui tujuan kurikuler dari pendidikan model madrasah pada masa
klasik Islam, secara tersirat dapat dilihat dari bidang studi yang ditekuninya. Tetapi
sebelum dunia Islam mengenal madasah pun sebenarnya tujuan kurikuler sudah ada,
yakni jika dilihat dari bidang studi yang ditekuninya tadi. Para sahabat Rasullulah,
misalnya, mempelajari Al-Quran bertujuan agar mereka hafal dan mengerti makna yang
terkandung serta berusaha untuk mengamalkan secara utuh. Untuk kepentingan itu
mereka menghafalnya secara tekun dan cermat. Mereka yang berminat menekuni bidang
fiqih bertujuan paling tidak agar mereka dapat melaksanakan ibadah dengan benar sesuai
tuntunan Nabi Muhammad SAW. dan sesuai dengan anjuran syariat Islam.
Pada generasi pasca sahabat, ketika pendidikan madrasah mulai dikenal, kaum
Muslimin mempelajari berbagai bidang keilmuan dengan tujuan agar memahami ajaran
Islam sesuai dengan bidang kajian masing-masing. Selain itu, pengetahuan dasar seperti
membaca dan menulis merupakan kunci dalam mempelajari bidang-bidang keilmuan.
Oleh karena itu, pengetahuan dasar diberikan kepada siapa saja sejak kanak-kanak.
Ahmad Syalabi berpendapat bahwa salah satu tujuan para sahabat mempelajari
hadits Nabi ialah agar mereka mengetahui persis akhlak Nabi. Sementara generasi
berikutnya mempelajari ilmu bahasa agar dapat menolong mereka memahami kandungan
Al-Quran dan sabda-sabda Nabi secara tepat. Menurut Al-Abrasyi, tujuan kurikuler dapat
dilihat dari kecenderungan dan karakteristik ilmu yang ditekuninya, seperti belajar
sejarah bertujuan untuk mengetahui keadaan masa lalu, bagaimana kehidupan para nabi,
para raja dan para penguasa. Tujuan mempelajari ilmu mantiq untuk menjaga dan
memelihara pikiran agar bisa berpikir maksimal dan logis. Tujuan mempelajari ilmu
berhitung adalah untuk membiasakan diri berpikir analisis, sistematis dan kritis. Tujuan
mempelajari ilmu kesehatan untuk memelihara dan mengetahui seluk beluk penyakit dan
cara-cara menolong orang sakit.
________________________________________
Page 47
Uraian di atas menunjukkan bahwa pelajaran di madrasah sudah mempunyai tujuan-
tujuan kurikuler tertentu untuk mencapai target lulusan yang diharapkan. Sejak masa
klasik tujuan kurikuler pendidikan Islam memang sudah disusun secara baik, walaupun
belum dianggap sebagai hal yang sistematis.
3) Tujuan Instruksional Umum
Tujuan instruksional umum pendidikan digariskan dengan maksud agar mereka
yang belajar di madrasah mengerti dan memahami kegunaan materi dari ilmu yang
dipelajarinya. Misalnya, mempelajari ilmu mantiq agar mereka mengerti, mengetahui dan
memahami cara berpikir yang baik dan benar. Tujuan mempelajari ilmu berhitung dan
ilmu ukur adalah untuk mengerti, dan memahami cara menghitung yang benar dan baik.
Tujuan mempelajari ilmu fiqih agar mereka mengerti, dan memahami hukum-hukum
Islam baik yang berkenaan dengan ibadah maupun muamalah. Demikian pula
mempelajari ilmu-ilmu lainnya.
Tujuan Instruksional umum pada masa pertumbuhan dan perkembangan madrasah
pendidikan Islam klasik lebih ditekankan pada aspek pengertian dan pengembangan
pengetahuan, belum sampai pada tataran praktis. Karena itu, materi yang diajarkan baru
sampai pada pengembangan pengetahuan yang bersifat teoritis.
4) Tujuan Instruksional Khusus
Tujuan ini dirumuskan pada kondisi yang bersifat aplikatif dan bersifat lebih rinci,
yaitu murid tidak hanya dituntut mengerti dan memahami tetapi juga dapat menyebutkan,
mengungkapkan secara benar dan mempraktekkannya. Misalnya, pengajaran Al-Quran
menuntut murid/mahasiswa dapat membacakan dengan benar, menyebutkan ayat-ayat
tertentu yang berhubungan dengan materi pelajaran, dan dapat menunjukkan ayat-ayat
tertentu jika guru memintanya.
Contoh lain mempelajari berhitung dan ilmu ukur agar murid terbiasa menggunakan
akal dan perasaan dalam mengikuti cara-cara tertentu seperti cara menjumlahkan,
mengalikan, membagikan angka-angka dan mengukur luas dan isi. Kemampuan seperti
ini sangat berguna secara praktis dalam kehidupan mereka sehari-hari, yang kelak akan
membantu mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Secara
Instruksional bila mereka telah menguasai ilmu-ilmu itu mereka dapat memecahkan
persoalan dalam pembagian harta waris. Kemampuan tersebut sangat dibutuhkan oleh
masyarakat luas.
c. Evaluasi Pengajaran di Madrasah.
Pada masa perkembangan pendidikan Islam klasik, untuk mengetahui berhasil atau
tidaknya suatu kurikulum dan metode pengajaran yang diterapkan dalam sistem
pendidikan dibutuhkan evaluasi pendidikan. Menurut Stanton dan Makdisi, evaluasi hasil
belajar di madrasah sudah dilakukan pada masa Madrasah Nizhamiyah, dan diikuti oleh
madrasah-madrasah lainnya pada masa sesudahnya.
________________________________________
Page 48
Bentuk evaluasi pendidikan madrasah pada masa itu sebagian besar dilakukan
sendiri oleh guru bidang studi. Para guru bertanya pada muridnya, atau para murid
diminta menghafal di depan kelas mengenai suatu materi. Evaluasi belum bisa dilakukan
secara teratur dan terjadwal karena keberhasilan seorang murid menguasai materi yang
diajarkan sangat tergantung pada semangat belajar para siswa/mahasiswanya sendiri.
Setelah pendidikan madrasah mulai berjenjang, evaluasi dilakukan setidaknya untuk
menentukan tingkat kelayakan seseorang dalam mempelajarai ilmu-ilmu tertentu yang
membutuhkan pengetahuan dasar dari ilmu-ilmu tersebut. Seperti pelajaran Al-Quran,
sebelum mempelajari tafsir Al-Quran, murid harus mengetahui lebih dahulu membaca
dan menulis huruf dan ulumul Quran.
Sepanjang sejarah pendidikan Islam klasik tidak ditemukan suatu catatan yang
menjelaskan bahwa para pelajar diminta mempersiapkan diri mengikuti suatu ujian atau
ulangan.Test yang dilakukan pada saat itu adalah test dalam kelas yang langsung
dilakukan oleh para mudarris/syaikh, atau teman-teman lainnya dengan cara bertukar
pikiran, berdebat atau diskusi. Namun demikian, tes tidak dilakukan secara terstruktur.
Siswa/mahasiswa hanya mendapatkan ijazah atau surat keterangan sebagai bukti bahwa
mereka telah lulus atau pernah belajar di lembaga tersebut. Surat keterangan itu berisi
pernyataan tertentu di bawah bimbing-an ustadz/mudarris/syaikh tertentu, mengikuti
ujian tertentu dan tanda tangan ketua lembaga pendidikan. Pemberian ijazah tersebut
hanya sebatas menunjukkan kemampuan dan kesung-guhan seorang pelajar dalam
mempelajari ilmu-ilmu tertentu tanpa disebutkan alamat lembaga tempat mereka belajar
dan tidak mendapat gelar seperti pada lembaga pendidikan modern.
*****

No comments:

Post a Comment