Kesultanan Malaka merupakan kerajaan islam kedua di Asia Tenggara. Kesultanan ini berdiri pada awal abad ke- 15 M. kerajaan ini cepat berkembang, bahkan dapat mengambilm alih dominasi pelayaran dan perdagangan dari kerajaan Samudera Pasai yang kalah bersaing. Sejauh menyangkut penyebaran Islam di Tanah Melayu, peranan Kesultanan Malaka sama sekali tidak dapat dikesampingkan dalam proses islamisasi, karena konversi Melayu terjadi terutama selama periode Kesultanan Malaka pada abad ke- 15 M.
Pembentukan negara Malaka disinyalir ada kaitannya dengan perang saudara di Majapahit setelah Hayam Wuruk (1360-89 M) meninggal dunia. Sewaktu perang saudara tersebut, Parameswara, Putra raja Sriwijaya – Palembang turut terlibat karena ia menikah dengan salah seorang putri Majapahit. Parameswara kalah dalam perang tersebut dan melarikan diri ke Temasik (sekarang Singapura) yang berada di bawah pemerintahan Siam saat itu. Beliau membunuh penguasa Temasik, yang bernama Temagi dan kemudian menobatkan dirinya sebagai penguasa baru. Persoalan ini diketahui oleh Kerajaan Siam dan memutuskan untuk menuntut balas atas kematian Temagi. Parameswara dan pengikutnya mengundurkan diri ke Muar dan akhirnya sampai di Malaka lalu membuka sebuah kerajaan baru di sana pada tahun 1402 M. Menurut versi ini, kedatangan islam ke Malaka terjadi tahun 1414 M, ketika Parameswara menganut Islam dan menukar nama menjadi Megat Iskandar Syah. Pengislamannya diikuti oleh pembesar-pembesar istana dan rakyat jelata. Dengan demikian Islam mulai tersebar di Malaka. Parameswara (Megat Iskandar Syah) memerintah selama 20 tahun. Baginda mendapati Malaka sebagai sebuah kampung dan meninggalkannya sebagai sebuah kota serta pusat perdagangan terpenting di Selat Malaka, sehingga orang- orang Arab menggelarinya sebagai malakat (perhimpunan segala pedagang).
Kitab sejarah melayu (The Malay Annals) turun menceritakan bahwa raja Malaka, Megat Iskandar Syah, adalah orang pertama di kesultanan itu yang memeluk agama Islam. Selanjutnya ia memerintahkan segenap warganya baik yang berkedudukan tinggi maupun rendah untuk menjadi Muslim. Salatus Salatin juga merekam dengan baik peristiwa ini dan menceritakan bagaimana proses konversi Islam yang dialami Sultan Iskandar Muhammad Syah, di mana Rasulullah hadir dalam mimpinya dan mengajarkannya mengucap syahadat. Kedatangan seorang makhdum dari Jeddah yang bernama Syed Abdul Azis yang diberitakan dalam mimpinya, dikisahkan keesokan harinya menjadi kenyataan. Dari Syed inilah Sultan Iskandar Muhammad Syah dan rakyatnya mendalami Islam.
Di negara Malaka yang terkenal sebagai pusat perdagangan Internasiona, para sultan turut mendukung proses islamisasi, dengan turut meningkatkan pemahaman terhadap Islam dan berpatisipasi dalam pengembangan Islam. Pemerintah memberikan kontribusi yang besar dalam mensukseskan kegiatan dakwah. Sultan Malaka yang lebih belakangan misalnya, dilukiskan oleh Tome Pires – sebagaimana dikutip oleh A.C. Milner – sebagai orang yang telah mengajakan pengetahuan agama Islam kepada para raja dari negara- negara Melayu lainnya karena pengetahuannya yang luas tentang agama islam. Selain itu, para sultan Malaka – mulai dari sultan yang pertama – begitu juga para pejabat pemerintah sangat berminat terhadap ajaran Islam. Banyak di antara mereka yang berguru kepada ulama- ulama yang terkenal. Sebagai contoh, sejarah melayu menyebutkan Sultan Muhammad Syah berguru kepada Maulana Abdul Azis, Sultan Mansur Syah berguru kepada Kadi Yusuf dan Maulana Abu Bakar. Sementara Sultan Mahmud Syah, Bendara Seri Maharaja, Megat Seri Rama dan Tunai Mai Ulat Bulu berguru kepada Sadr Johan, begitu juga Sultan Ahmad yang belajar ilmu tasawuf kepadanya.
Kaum ulama saat itu sangat dihormati dan dihargai. Kadi dan ahli fikih mempunyai kedudukan yang sama dengan pembesar negara yang lain. Sebagai ilustrasi, Wahid mengemukakan contoh menarik mengenai status tinggi yang dinikmati oleh para kadi dan sarjana Muslim ini. Katanya, seorang guru agama dari Arab, bernama Makhdum Sadr Johan, bisa menolak untuk mengajar penguasa Malaka, Sultan Mahmud Syah, ketika yang terahir ini menandatangi ruang kelasnya dengan menunggang seekor gajah. Hal yang sama juga terjadi pada Menteri Kepala (Bendahara), ketika yang terakhir ini datang ke kelasnya sambil minum. Penguasa Malaka yang lain, Sultan Mansur Syah, dikisahkan konon telah mencari nasihat keagamaan dari Makhdum Patajkan, sufi ‘alim yanbg sangat terkenal dari Pasai. Ini semua menunjukkan betapa para ulama dihormati dan dihargai.
Selain turut mendalami ajaran islam, para sultan juga diceritakan turut meningkatkan syiar islam. Sejarah Melayu menceritakan bahwa Ramadhan, Sultan bersama pembesar istana turut berangkat ke mesjid melaksanakan shalat tarawih, di mana kala itu mesjid menjadi tumpuan umat islam terutama pada bulan Ramadhan.
Respon sultan dan rakyat Malaka yang antusias terhadap kedatangan agama islam, pada gilirannya turut pula mengangkat posisi Malaka sebagai pusat kegiatan dakwah. Selain rakyatnya menyebarkan dakwah ke luar negeri, banyak pula orang luar yang datang ke Malaka untuk menuntut ilmu. Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, dua ulama dari jawa yang begitu terkenal sebelumnya, menamatkan pengajiannya di Malaka. Adalah melalui kekuasaan kerajaan Malaka, Islamisasi kepulauan mendapat dorongan baru. Malaka menjadi salah satu pusat kunci dari mana islam berkembang dari sepanjang pesisir ke wilayah- wilayah seperti kepulauan Sulu di Filipina. Agaknya, luasnya pengaruh, kekuatan ekonomi dan kejayaan Malaka telah memungkinkannya – sampai derajat tertentu – menjadi pusat Islam pada saat itu. Kejayaan dan pengaruh Malaka yang begitu besar ini diakui oleh Tome Pires yang ada pada awal abad ke- 16, mencatat bahwa “Malaka begitu penting dan menguntungkan sehingga tampak bagi saya bahwa ia tidak ada tandingannya di dunia”. Selain itu, Sejarah Melayu seperti halnya laporan dari sumber- sumber Portugis maupun Cina, juga membicarakan dengan penuh semangat, walaupun dengan agak berlebihan, mengenai kejayaan dan keluasan pengarih dan kekuatan ekonomi Malaka, suatu pengaruh yang hanya dapat diimbangi oleh kerajaan Majapahit yang berbasis di Jawa. Malaka tidak hanya menguasai beberapa kerajaan yang telah masuk Islam seperi Aru, Pedir, dan Lambri, tetapi juga menguasai daerah- daerah baru di Sumatera yang juga telah masuk Islam seperti Kampar, Indragiri, Siak, Jambi, Bengkalis, dan Lingga. Di samping itu, di Semenanjung Malaya, daerah seperti Pahang, Pattani, Kedah, Johor, serta daerah lain yang telah menerima Islam juga mengakui kekuasaan kerajaan Malaka.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dimuali dari paroh abad ke- 1, Islam telah menjadi unsur penting yang tidak terpisahkan dari kehidupan Malaka, pusat kunci dari mana Islam menyebar ke seluruh bagian lain di Nusantara. Sebagai pusat pengajian Islam, Malaka begitu peka terhadap perkembangan Islam. Langkah para sultan yang menitikberatkan pada pelayanan terhadap alim ulama memungkinkan Islam berkembang pesat. Sementara itu, Islam yang mempunyai dasar filosofis dan rasional yang kuat, mempengaruhi berbagai aspek kehidupan Melayu. Dalam kehidupan sehari- hari, ajaran Islam dan nilai yang konsisten dengan Islam, menjadi sumber penuntun hidup yang penting bagi Melayu.
No comments:
Post a Comment