Thursday, October 21, 2010

MUHKAM DAN AL-MUTASYABIH


    BAB I
                                                     PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Salah satu persoalan ulum al-qur’an yang masih diperdebatkan sampai sekarang adalah kategorisasi muhkam-mutasyabih. Tellah dan perdebatan diseputar masalah ini telah banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan islam, terutama menyangkut penafsiran al-qur’an. Perdebatan itu tida saja melibatkan sarjana-sarjana muslim sendiri karena sarjana-sarjana barat pun ikut mewarnainya.

Diantara sarjana muslim yang cukup intens membicarakan persoalan muhkam mutasyabih adalah ali bin hamzah al-kisa’I (wafat antara tahun 179 H dan 192 H). sarjana muslim yang terkenal sebagai pakar qira’ah ini memiliki karya penting tentang muhkam mutasyabih, yaitu kitab al-mutasyabihat fi al-qur’an. Karya ini dianggap penting karena berupaya menghimpun teks-teks al-qur’an yang masuk ke dalam kategori mutasyabih.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dari muhkam al-mutasyabih
2. Sikap para ulama terhadap ayat-ayat muhkam dan mutsyabih
3. Perbedaan muhkam dan mutasyabih
4. Muhkam dan mutasyabih serta kedudukannya masing-masing
5. Cara mengetahui atau menentukan kemuhkaman dan kemutasyabihan
6. Hikmah keberadaan ayat mutasyabih dalam al-qur’an
7. Fawatihus suwar
8. Hikmah fawatihus sawar

                                                 BAB II
                                                     PEMBAHASAN

A. Pengertian muhkam wa al-mutasyabih

Muhkam menurut etimologi adalah sesuatu hal yang baik, atau suatu ungkapan yang maksud makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah.
Mutasyabih menurut etimologi adalah persamaan atau kesamaran yang mengarah kepada kerupaan.
Menurut istilah (terminologi) muhkam dan mutasyabih ada beberapa pendapat. Diantaranya :
1. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang, baik melalui takwil (metafora) ataupun tidak. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah. Seperti saat kedatangan hari kiamat, keluarnya dajjal, dan huruf-huruf muqathta’ah, definisi ini dikemukakan oleh kelompok ahlussunah.
2. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maknanya jelas, sedangkan mutasyabih adalah sebaliknya.
3. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tidak memunculkan kemungkinan sisi arti lain. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih mempunyai kemungkinan sisi arti banyak, definisi ini dikemukakan oleh ibn abbas.
4. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maknanya dapat diketahui atau dapat dipahami oleh akal. Seperti bilangan rakaat sholat dan lain-lain. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya. Pendapat ini dikemukakan oleh al-mawardi.
5. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang dapat berdiri sendiri (dalam pemaknaannya), sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya yakni bergantu pada ayat lain.
6. Ayat-ayat muhkam adaah ayat yang maksudnya segera dapat diketahui tanpa penakwilan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih memerlukan penaklukan untuk mengetahui maksudnya.
7. ayat-ayat muhkam adalah ayat yang lafadz-lafadznya tidak berulang-ulang, sedangkan ayat-ayat mutasyabih sebaliknya.
8. ayat-ayat muhkam adalah ayat yang berbicara tentang kefarduan, ancaman, dan janji. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih berbicara tentang kisah-kisah dan perumpaan-perumpaan .
9. ulama’ golongan hanfiyah mengatakan, lafadz muhkam ialah lafadz yang jelas petunjuknya dan tidak mungkin telah dimansukh (dihapus hukumnya). Sedangkan lafadz mutasyabih ialah lafadz yang sama maksud petunjuknya, sehingga tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia ataupun tidak tercantum dalam dalil-dalil. Sebab, lafadz mutasyabih itu termasuk hal-hal yang diketahui oleh Allah SWT. Contohnya hal-hal yang ghaib.
10. imam athibi mengatakan, lafadz muhkam ialah lafadz yang jelas maknanya sehingga tidak mengakibatkan kemusykilan atau kesulitan arti. Sebab, lafadz muhkam itu diambil dari lafadz ihkam (ma’khudzul ihkam) yang berarti baik/bagus. Contohnya seperti lafadz yang dhohir, lafadh yang tegas dan sebagainya. Sedangkan lafadz mutasyabih ialah kebalikannya, yakni yang sulit dipahami sehingga mengakibatkan kemuskilan atau kesulitan. Contohnya seperti lafadz mustarah, mutlak, dan sebagainya .

Melihat pengertian dan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa inti muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi. Masuk dalam katagori muhkam adalah nash (kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan tegas, dan memang untuk makna itu ia disebutkan). Adapun mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas, masuk kedalam katagori mutasyabih ini adalah mujmal (global), mu’awwal (harus dita’wil). Muskil dan mubham (ambigius).


B. Sikap para ulama’ terhadap ayat-ayat muhkam dan mutasyabih
Para ulama’ berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui pula oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya.
Ada sedikit ulama yang berpihak pada penjelasan gramatikal pertama, di antaranya adalah Mujahid (W. 104 H.) yang diperolehnya dari Ibn Abbas al-mundzir mengeluarkan sebuah riwayat dari ibn abbas lalu berkata, “aku di antara orang yang mengetahui takwilnya.” Imam an-nawawi pun termasuk dalam kelompok ini. Di dalam syarah Muslim, ia berkata, “pendapat inilah yang paling sahih karena tidak mungkin Allah mengkhitabi hamba-hamba-Nya dengan uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.” Ulama’ lain yang masuk ke dalam kelompok ini adalah abu hasan al-asy’ari dan abu ishaq asy-syirazi. Asy-syirazi berkata, “tidak ada satu ayat pun yang maksudnya hanya diketahui Allah. Para ulama’ sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang awam?”
Sebagian besar sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya terutama kalangan ahlussunah, berpihak pada penjelasan gramatikal yang kedua. Ini pula yang merupakan riwayat paling sahih dari ibn abbas.
Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam dua kelompok, yaitu :
1. Madzhab salaf, yaitu ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (tafwidh ilallah). Mereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-qur’an. Di antara ulama yang masuk ke dalam kelompok ini adalah Imam malik.
2. Madzhab khalaf. Yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah. Ulama’ khalaf memberikan penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabih seperti : Istiwa’ ditakwilkan dengan keluhuran yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah ditakwilkan dengan kedatangan perintahnya. Wajah dan mata Allah ditakwilkan dengan pengawasan-Nya. Sisi Allah ditakwilkan dengan hal Allah. Demikian prinsip penafsiran ulama khalaf, kesan-kesan antromopistik Allah pada ayat-ayat al-qur’an ditakwilkan dengan arti yang cocok dengan kesucian Allah.

C. Perbedaan muhkam dengan mutasyabih
• Muhkam dan mutasyabih dalam arti umum
Muhkam berati (sesuatu) yang dikokohkan, ihkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi, kalau muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya. Dengan pengertian inilah Allah mensifati al-qur’an bahwa seluruhnya adalah muhkam.
“Al-qur’an itu seluruhnya muhkam” maksudnya al-qur’an itu kata-katanya kokoh, fasih dan membedakan antara yang hak dengan yang bathil dan antara yang benar dengan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-ihkam al-amm atau muhkam dalam arti umu.
Mutasyabbih adalah mutamasil (sama) dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain. Dengan pengertian inilah Allah mensifati al-qur’an bahwa seluruhnya mutasyabih.
“al-qur’an itu seluruhnya mutasyabih”, maksudnya al-qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan at-tasyabuh al-amm atau mutasyabih dalam arti umum.
• Muhkam dan Mutasyabih dalam arti khusus
Mengenai pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat. Yang penting diantaranya sebagai berikut :
1. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.
2. Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedangkan mutasyabih mengandung banyak wajah.
3. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain sedang mutasyabih tidak demikian, ia memerulukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat yang lainnya.

D. Muhkamat dan mutasyabih serta kedudukannya masing-masing
Ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat dalam satu segi mempunyai kedudukan yang sama dan dalam segi yang lain berbeda satu sama lain. Keduanya sama dalam segi bahwa keduanya baru dapat dijadikan dalil setelah diketahui kebijaksanaan Allah yang berbicara dengan keduanya. Keduanya berbeda satu sama lain dalam hal sebagai berikut.
Ayat-ayat muhkamat, jika menurut hukum dasar pembentukan bahasa (mauldu’ al-lughah) atau kedudukannya dalam konteks pembicaraan (madlamah al-qorinah) hanya mengandung satu kemungkinan arti, siapapun yang mendengarkannya akan lasung dapat mengambilnya sebagai petunjuk atas hal yang ditunjukkannya, asalkan ia mengerti cara bicara dan memahami konteknya. Tidak demikian halnya dengan aya-ayat ini, walaupun ia ahli bahasa dan memahami konteksnya, membutuhkan pemikiran permulaan (fikr mubtada’) dan penalaran ulangan (nazar mujaddad) untuk dapat membawanya kepada pengertian yang sesuai dengan pengertian aya-ayat muhkamat atau petunjuk akal.

E. Cara mengetahui atau menentukan ke-muhkaman dan ke-mutasyabihan
Abd. Al-jabbar menyimpulkan bahwa yang menjadi tolak ukur paling kuat dalam menentukan ke-muhkaman dan ke-mutasyabihan adalah dali-dalil akal ( ). Ayat-ayat yang hanya mengandung satu pengertian yang sesuai dengan dalil-dalil akal ditetapkan sebagai muhkamat, sementara yang mengandung dua pengertian atau lebih yang berbeda ditetapkan sebaga mutasyabihat.
Mengapa dalil-dalil akal yang dipakai sebagai dasar? Karena menurut hukum dasar pembentukan bahasa (maudu’ al-lugah), setiap kata pada pembentukannya pasti yang bukan mengandung kemungkinan memberikan pengertian yang bukan pengertian asli. Karena itu, jika persoalannya tidak dikembalikan kepada sesuatu yang tidak mengandung wayuh-arti, maka tidak dapat dibedakan ayat-ayat yang muhkamat dan yang mutasyabihat.

F. Hikmah keberadaan ayat mutasyabih dalam Al-qur’an
Di antara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam al-qur’an dan ketidak mampuan akal untuk mengetahuinya adalah :
1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia
Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan aya-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.
Aya-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi pendudukan akal terhadap Allah karena kesadarannya akan ketidak mampuan akalnya, untuk mengungkapkan ayat-ayat mutasyabih itu.
2. Teguran bagi orang-orang yang mengotak atik ayat mutasyabih.
Pada penghujung surat al-imron (3) ayat 7, Allah menyebutkan Wa ma yadzdzakkaru illah ulu al-bab. Sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya memberikan pujian pada orang-orang yang mendalami ilmunya. Yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak atik ayat-ayat mutasyabih sehigga mereka berkata Rabbana la tuzigh qulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengaharapkan ilmu ladunni.
3. Memberikan pemahaman abstrak-abstrak kepada manusia melalui pengalaman inderawi yang biasa disaksikannya.
Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi gambaran inderawi terlebih dahulu dalam kasus-kasus sifat Allah, sengaja Allah memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifatnya. Bersamaan dengan itu Allah menegaskan bahwa dirinya tidak sama dengan hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan.
G. FAWATIHUS SUWAR
Menurut bahasa adalah jama’ dari kata “fatihun” yang berarti pembukaan, permulaan atau awalan.
Sedangkan kata as-suwar adalah jama’ dari kata as-surah, sekumpulan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai awalan dan akhiran.
Jadi, fawatius suwar berarti beberapa pembukaan dari surah-surah al-qur’an atau beberapa macam awalan dari surah-surah al-qur’an. Sebab seluruh surah al-qur’an yang berjumlah 114 surah itu dibuka dengan sepuluh macam pembukaan tersebut saja, tidak ada satu surat pun yang keluar dari sepuluh macam pembukaan tersebut dan tiap-tiap macam mempunyai rahasia atau hikmah masing-masing, sehingga perlu untuk dipelajari.
Sepuluh macam pembukaan itu adalah :
1. Pembukaan dengan pujian (al-istiftahu bits tsana’) kepada Allah SWT. Dengan menggunakan lafadz “hamdalah, tabarakah, subhana, sabbaha atau yusabbihu”.
2. Pembukaan dengan huruf-huruf terputus atau huruf hijaiyah, yaitu seperti Nun, alif lam mim dll.
3. Pembukaan dengan nida’ atau penggilan (al-istiftahu bil nida’) yaitu seperti
4. Pembukaan dengan jumlah khobriyah (al-istiftahu bi jumalil khobariyah) yaitu dengan menggunakan jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah,
5. Pembukaan dengan sumpah atau qosam (al-istiftahu bil qosam) yaitu sumpah dengan benda-benda angkasa, sumpah dengan benda-benda di bawah (bumi), sumpah dengan waktu.
6. Pembukaan dengan syarat (al-istiftahu bil amri) yaitu dengan lafadz : Idza
7. Pembukaan dengan pertanyaan (al-istiftahu bil istifham) yaitu dengan kalimat positif : Hal, ‘Amna, Araayta, Alam.
8. Pembukaan dengan fi’el amar (al-istiftahu bil amri) yaitu dengan lafadz Iqra’, Qul.
9. Pembukaan dengan berdo’a (al-istiftahu bid du’a) yaiut do’a atau harapan yang berbentuk kata benda, seperti : Wail. Dan berbentuk kata kerja seperti : Tabbat.
10. Pembukaan dengan alasan (al-istiftahu bit ta’lili), yaitu pembukaan dengan memberi alasan, seperit yang digunakan untuk membuka surah : al-quraisy, yaitu dengan lafadz : lailafi quraisyin.

H. HIKMAH ADANYA FAWATIHUS SUWAR
Hikmah antara lain :
1. Memuji atau mensucikan Allah dan segala sifat kekurangan (negatif) tercele. Allah merupakan monopoli dari segala-galanya.
2. Bahwasanya al-qur’an datangnya dari Allah SWT bukan ciptaan nabi Muhammad SAW.
3. Untuk memperingati nabi Muhammad SAW dan umat islam agar memperhatikan firman-firman Allah SWT yang disebutkan setelah pembukaan itu, serta mengamalkan dan menjadikannya sebagai pedoman.
4. Pemukaan dengan sumpah, agar manusia bersifat dan bersikap jujur dan bersumpah dengan atas nama Allah.
5. Sumpah Allah SWT dengan benda-benda mewujudkan bahwasanya hanya Allah-lah yang mutlak melakukan monopoli.
6. Pembukaan dengan pertanyaan untuk memberikan peringatan atau petunjuk-petunjuk kepada umat manusia ke arah kebahagiaan hidup mereka di dunia dan di akhirat.

                                                          



                                                            BAB III
                                                          PENUTUP


A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas kami dapat menyimpulkan atau pengistimbatkan bahwa muhkam merupakan lafadz yang dapat diketahui dengan jelas dan kuat secara berdiri sendiri tanpa dita’wilkan karena susunan tertibnya tetap, dan tidak muskil karena pengertiannya masuk akal sehingga dapat diamalkan karena tidak dinashkan. Sedangkan mutasyabihat ialah lafadz al-qur’an yang artinya samar, sehingga tidak dapat dijangkau akal manusia karena bisa ditakwilkan macam-macam sehingga tidak dapat berdiri sendiri karena susunan tertibnya kurang tepat sehingga menimbulkan kesulitan disebabkan petunjuk artinya tidak kuat.

B. Saran-saran
Dengan selesainya makalah ini kami sebagai penyusun sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu kami minta saran dan kritikan yang bersifah membangun demi lancarnya pembuatan atau makalah selanjutnya. Dan semoga pembuatan makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amien …


                                                    DAFTAR PUSTAKA


Machasin, Drs. MA. Al-Qadi Abd. Al-Jabbar Mutasyabih Al-Qur’an Dan Dalih Rasionalitas Al-Qur’an. LKiS Yogyakarta. 2000
Rosihon Anwar, Drs. M.Ag. Ulumul Qur’an. Pustaka Setia, Bandung. 2004

Wednesday, October 13, 2010

IDENTITAS NASIONAL

IDENTITAS NASIONAL


I
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada hakikatnya manusia hidup tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, manusia senantiasa membutuhkan orang lain. Pada akhirnya manusia hidup secara berkelompok-kelompok. Manusia dalam bersekutu atau berkelompok akan membentuk suatu organisasi yang berusaha mengatur dan mengarahkan tercapainya tujuan hidup yang besar. Dimulai dari lingkungan terkecil sampai pada lingkungan terbesar. Pada mulanya manusia hidup dalam kelompok keluarga. Selanjutnya mereka membentuk kelompok lebih besar lagi sperti suku, masyarakat dan bangsa. Kemudian manusia hidup bernegara. Mereka membentuk negara sebagai persekutuan hidupnya. Negara merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh kelompok manusia yang memiliki cita-cita bersatu, hidup dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang sama. Negara dan bangsa memiliki pengertian yang berbeda. Apabila negara adalah organisasi kekuasaan dari persekutuan hidup manusia maka bangsa lebih menunjuk pada persekutuan hidup manusia itu sendiri. Di dunia ini masih ada bangsa yang belum bernegara. Demikian pula orang-orang yang telah bernegara yang pada mulanya berasal dari banyak bangsa dapat menyatakan dirinya sebagai suatu bangsa. Baik bangsa maupun negara memiliki ciri khas yang membedakan bangsa atau negara tersebut dengan bangsa atau negara lain di dunia. Ciri khas sebuah bangsa merupakan identitas dari bangsa yang bersangkutan. Ciri khas yang dimiliki negara juga merupakan identitas dari negara yang bersangkutan. Identitas-identitas yang disepakati dan diterima oleh bangsa menjadi identitas nasional bangsa.
Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hakikat identitas asional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD kita, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional. Perlu dikemukaikan bahwa nilai-nilai budaya yang tercermin sebagai Identitas Nasional tadi bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang terbuka-cenderung terus menerus bersemi sejalan dengan hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Konsekuensi dan implikasinyaadalahidentitas nasional juga sesuatu yang terbuka, dinamis, dan dialektis untuk ditafsir dengan diberi makna baru agar tetap relevan dan funsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat. Krisis multidimensi yang kini sedang melanda masyarakat kita menyadarkan bahwa pelestarian budaya sebagai upaya untuk mengembangkan Identitas Nasional kita telah ditegaskan sebagai komitmen konstitusional sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalam Pembukaan, khususnya dalam Pasal 32 UUD 1945 beserta penjelasannya, yaitu : Kebudayan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat ebagi puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “. Kemudian dalam UUD 1945 yang diamandemen dalam satu naskah disebutkan dalam Pasal 32:
1. Negara memajukan kebudayan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memeliharra dan mengembangkan nilai-nilai budaya.
2. Negara menghormatio dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Dengan demikian secara konstitusional, pengembangan kebudayan untuk membina dan mengembangkan identitas nasional kita telah diberi dasar dan arahnya, terlepas dari apa dan bagaimana kebudayaan itu dipahami yang dalam khasanah ilmiah terdapat tidak kurang dari 166 definisi sebagaimana dinyatakan oleh Kroeber dan Klukhohn di tahun 1952.

1.2 Rumusan Masalah
· Apa pengertian Identitas Nasional?
· Apa saja unsur-unsur Identitas Nasional?
· Apa saja faktor-faktor pendukung kelahiran Idetitas Nasinal?
· Apa pengertian pancasila sebagai kepribadian dan Identitas Nasional?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
· Untuk megetahui pengertian Identitas Nasional.
· Untuk mengetahui unsur-unsur Identitas Nasional.
· Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung kelahiran Identitas Nasional.
· Untuk mengetahui pengertian pancasila sebagai kepribadian dan Identitas Nasional.

1.4 Sistematika Penulisan 

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.4 Sistematika Penulisan

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Identitas Nasional
2.2 Unsur-Unsur Identitas Nasional
2.3 Faktor-Faktor Kelahiran Identitas Nasional
2.4 Pancasila Sebagai Kepribadian dan Identitas Nasional
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA


BAB II
PEMBAHASAN



2.1 Pengertian Identitas Nasional
Istilah identitas nasional dapat disamakan dengan identitas kebangsaan. Secara etimologis , identitas nasional berasal dari kata “identitas” dan “ nasional”. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki pengertian harfiah; ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau . sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Kata “nasional” merujuk pada konsep kebangsaan. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identiti yang memiliki pengerian harfiah ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Jadi, pegertian Identitas Nsaional adalah pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan juga sebagai Ideologi Negara sehingga mempunyai kedudukan paling tinggi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk disini adalah tatanan hukum yang berlaku di Indonesia, dalam arti lain juga sebagai Dasar Negara yang merupakan norma peraturan yang harus dijnjung tinggi oleh semua warga Negara tanpa kecuali “rule of law”, yang mengatur mengenai hak dan kewajiban warga Negara, demokrasi serta hak asasi manusia yang berkembang semakin dinamis di Indonesia.
Identitas Nasional Indonesia :
1. Bahasa Nasional atau Bahasa Persatuan yaitu Bahasa Indonesia
2. Bendera negara yaitu Sang Merah Putih
3. Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya
4. Lambang Negara yaitu Pancasila
5. Semboyan Negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika
6. Dasar Falsafah negara yaitu Pancasila
7. Konstitusi (Hukum Dasar) negara yaitu UUD 1945
8. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
9. Konsepsi Wawasan Nusantara
10. Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai Kebudayaan Nasional

2.2 Unsur-Unsur Identitas Nasional
Unsur-unsur pembentuk identitas yaitu:
1. Suku bangsa: adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis dengan tidak kurang 300 dialeg bangsa.
2. Agama: bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama yan tumbuh dan berkembang di nusantara adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Agama Kong H Cu pada masa orde baru tidak diakui sebagai agama resmi negara. Namun sejak pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan.
3. Kebudayaan: adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk social yang isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagi rujukan dan pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
4. Bahasa: merupakan unsure pendukung Identitas Nasonal yang lain. Bahsa dipahami sebagai system perlambang yang secara arbiter dientuk atas unsure-unsur ucapan manusia dan yang digunakan sebgai sarana berinteraksi antar manusia.
Dari unsur-unsur Identitas Nasional tersebut dapat dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian sebagai berikut :
· Identitas Fundamental, yaitu pancasila merupakan falsafah bangsa, Dasar Negara, dan Ideologi Negara
· Identitas Instrumental yang berisi UUD 1945 dan tata perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”.
· Identitas Alamiah, yang meliputi Negara kepulauan (Archipelago) dan pluralisme dalam suku, bahasa, budaya, dan agama, sertakepercayaan.
Menurut sumber lain ( http://goecities.com/sttintim/jhontitaley.html) disebutkan bahwa:
Satu jati diri dengan dua identitas:
1. Identitas Primordial
· Orang dengan berbagai latar belakang etnik dan budaya: jawab, batak, dayak, bugis, bali, timo, maluku, dsb.
· Orang dengan berbagai latar belakang agama: Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, dan sebagainya.

2. Identitas Nasional
· Suatu konsep kebangsaan yang tidak pernah ada padanan sebelumnya.
· Perlu diruuskan oleh suku-suku tersebut. Istilah Identitas Nasional secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain.
Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi yang sangat kuat terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The Capitalist Revolution, era globalisasi dewasa ini, ideology kapitalisme yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu persatu dan menjadi sistem internasional yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung juga nasib, social, politik dan kebudayaan. Perubahan global ini menurut Fakuyama membawa perubahan suatu ideologi, yaitu dari ideologi partikular kearah ideology universal dan dalam kondisi seperti ini kapitalismelah yang akan menguasainya. Dalam kondisi seperti ini, negara nasional akan dikuasai oleh negara transnasional yang lazimnya didasari oleh negara-negara dengan prinsip kapitalisme. Konsekuensinya, negara-negara kebangsaan lambat laun akan semakin terdesak. Namun demikian, dalam menghadapi proses perubahan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri. Menurut Toyenbee, cirri khas suatu bangsa yang merupakan local genius dalam menghadapi pengaruh budaya asing akan menghadapi Challence dan response. Jika Challence cukup besar sementara response kecil maka bangsa tersebut akan punah dan hal ini sebagaimana terjadi pada bangsa Aborigin di Australia dan bangfsa Indian di Amerika. Namun demikian jika Challance kecil sementara response besar maka bangsa tersebut tidak akan berkembang menjadi bangsa yang kreatif. Oleh karena itu agar bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakkan jati diri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreatifitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi di berbagai negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.

2.3 Faktor-Faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional
1. Faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional bangsa Indonesia meliputi:
· Faktor Objektif, yang meliputi faktor geografis-ekologis dan demografis
· Faktor Subjektif, yaitu faktor historis, social, politik, dan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia (Suryo, 2002)
2. Menurut Robert de Ventos, dikutip Manuel Castelles dalam bukunya “The Power of Identity” (Suryo, 2002), munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil interaksi historis ada 4 faktor penting, yaitu:
· Faktor primer, mencakup etnisitas, territorial, bahasa, agama, dan yang sejenisnya.
· Faktor pendorong, meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembanguanan lainnya dalam kehidupan bernegara.
· Faktor penarik, mencakup modifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional
· Faktor reaktif, pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain.
Faktor pembentukan Identitas Bersama. Proses pembentukan bangsa- negara membutuhkan identitas-identitas untuk menyataukan masyarakat bangsa yang bersangkutan. Faktor-faktor yang diperkirakan menjadi identitas bersama suatu bangsa, yaitu :
· Primordial
· Sakral
· Tokoh
· Bhinneka Tunggal Ika
· Sejarah
· Perkembangan Ekonomi
· Kelembagaan
Faktor-faktor penting bagi pembentukan bangsa Indonesia sebagai berikut
1. Adanya persamaan nasib , yaitu penderitaan bersama dibawah penjajahan bangsa asing lebih kurang selama 350 tahun
2. Adanya keinginan bersama untuk merdeka , melepaskan diri dari belenggu penjajahan
3. Adanya kesatuan tempat tinggal , yaitu wilayah nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke
4. Adanya cita-cita bersama untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sebagai suatu bangsa
Cita- Cita, Tujuan dan Visi Negara Indonesia.
Bangsa Indonesia bercita-cita mewujudkan negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan rumusan singkat, negara Indonesia bercita-cita mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini sesuai dengan amanat dalam Alenia II Pembukaan UUD 1945 yaitu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.
Tujuan Negara Indonesia selanjutnya terjabar dalam alenia IV Pembukaan UUD 1945. Secara rinci sbagai berikut :
1. Melindungi seganap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2. Memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan Kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi, dan keadilan sosial
Adapun visi bangsa Indonesia adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai , demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa dan berahklak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, mengausai ilmu pengetahuandan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. Setelah tidak adanya GBHN makan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka mengenah (RPJM) Nasional 2004-2009, disebutkan bahwa Visi pembangunan nasional adalah :
1. Terwujudnya kehidupan masyarakat , bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai.
2. Terwujudnya masyarakat , bangsa dan negara yang menjujung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia.
3. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.

2.4 Pancasila sebagai Kepribadian dan Identitas Nasional
Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat internasional, memilki sejarah serta prinsip dalam hidupnya yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tatkala bangsa Indonesia berkembang menujufase nasionalisme modern, diletakanlan prinsip-prinsip dasar filsafat sebagai suatu asas dalam filsafat hidup berbangsa dan bernagara. Prinsip-prinsip dasar itu ditemukan oleh para pendiri bangsa yang diangkat dari filsafat hidup bangsa Indonesia, yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat Negara yaitu Pancasila. Jadi, filsafat suatu bangsa dan Negara berakar pada pandangan hidup yang bersumber pada kepribadiannya sendiri. Dapat pula dikatakan pula bahwa pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan Negara Indonesia pada hakikatnya bersumber kepada nilai-nilai budaya dan keagamaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai kepribadian bangsa. Jadi, filsafat pancasila itu bukan muncul secara tiba-tiba dan dipaksakan suatu rezim atau penguasa melainkan melalui suatu historis yang cukup panjang. Sejarah budaya bangsa sebagai akar Identitas Nasional. Menurut sumber lain (http://unisosdem.org.kliping_detail.php/?aid=7329&coid=1&caid=52) Disebutkan bahwa: kegagalan dalam menjalankan dan medistribusikan output berbagia agenda pembangnan nasional secaralebih adil akan berdampak negatif pada persatuan dan kesatuan bangsa. Pada titik inilah semangat Nasionalisme akan menjadi slah satu elemen utama dalam memperkuat eksistensi Negara/Bangsa. Study Robert I Rotberg secara eksplisit mengidentifikasikan salah satu karakteristik penting Negara gagal (failed states) adalah ketidakmampuan negara mengelola identitas Negara yang tercermin dalam semangat nasionalisme dalam menyelesaikan berbagai persoalan nasionalnya. Ketidakmampuan ini dapat memicu intra dan interstatewar secara hamper bersamaan. Penataan, pengelolaan, bahkan pengembangan nasionalisme dalam identitas nasional, dengan demikian akan menjadi prasyarat utama bagi upaya menciptakan sebuah Negara kuat (strong state). Fenomena globalisasi dengan berbagai macam aspeknya seakan telah meluluhkan batas-batas tradisional antarnegara, menghapus jarak fisik antar negara bahkan nasionalisme sebuah negara. Alhasil, konflik komunal menjadi fenomena umum yang terjadi diberbagai belahan dunia, khususnya negara-negara berkembang. Konflik-konflik serupa juga melanda Indonesia. Dalam konteks Indonesia, konflik-konflik ini kian diperuncing karekteristik geografis Indonesia. Berbagai tindakan kekerasan (separatisme) yang dipicu sentimen etnonasionalis yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia bahkan menyedot perhatian internasional. Nasionalisme bukan saja dapat dipandang sebagai sikap untuk siap mengorbankan jiwa raga guna mempertahankan Negara dan kedaulatan nasional, tetapi juga bermakna sikap kritis untuk member kontribusi positif terhadap segala aspek pembangunan nasional. Dengan kata lain, sikap nasionalisame membutuhkan sebuah wisdom dalam mlihat segala kekurangan yang masih kita miliki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan sekaligus kemauan untuk terus mengoreksi diri demi tercapainya cita-cita nasional. Makna falsafah dalam pembukaan UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut:
1. Alinea pertama menyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan , karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Maknanya, kemerdekaan adalah hak semua bangsa dan penjajahan bertentangan dengan hak asasi manusia.
2. Alinea kedua menyebutkan: “ dan perjuangan kemerdekaaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kepada depan gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Maknanya: adanya masa depan yang harus diraih (cita-cita).
3. Alinea ketiga menyebutkan: “ atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Maknanya, bila Negara ingin mencapai cita-cita maka kehidupan berbangsa dan bernegara harus mendapat ridha Allah SWT yang merupakan dorongan spiritual.
4. Alinea keempat menyebutkan: “ kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, menmcerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam susunan Negara republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan kepada: ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Alinea ini mempertegas cita-cita yang harus dicapai oleh bangsa Indonesia melalui wadah Negara kesatuan republik Indonesia.


BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Sekilas kata-kata diatas memang membuat tanda tanya besar dalam memaknainya. Beribu-ribu kemungkinan yang terus melintas dibenak pikiran, untuk menjawab sebuah pertanyaan yang membahas tentang identitas nasional.Kendatipun, dalam hidup keseharian yang mencakup suatu negara berdaulat, Indonesia sendiri sudah menganggap bahwa dirinya memiliki identitas nasional. Identitas nasional merupakan pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan juga sebagai Ideologi Negara sehingga mempunyai kedudukan paling tinggi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Unsur-unsur dari identitas nasional adalah Suku Bangsa: gol sosial (askriptif : asal lhr), golongan,umur. Agama : sistem keyakinan dan kepercayaan. Kebudayaan: pengetahuan manusia sebagai pedoman nilai,moral, das sein das sollen,dlm kehidupan aktual. Bahasa : Bahasa Melayu-penghubung (linguafranca). Faktor-faktor kelahiran identitas nasional adalah Faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional bangsa Indonesia meliputi faktor subjektif dan factor objektif, Faktor primer, mencakup etnisitas, territorial, bahasa, agama, dan yang sejenisnya. Faktor pendorong, meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembanguanan lainnya dalam kehidupan bernegara. Faktor penarik, mencakup modifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional. Faktor reaktif, pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain.

3.2 Saran

Identitas nasional merupakan suatu ciri yang dimiliki oleh bangsa kita untuk dapat membedakannya dengan bangsa lain. Jadi, untuk dapat mempertahankan keunika-keunikan dari bangsa Indonesia itu sendiri maka kita harus menanamkan akan cinta tanah air yang diwujudkan dalam bentuk ketaatan dan kepatuhan terhadap atura-aturan yang telah ditetapkan serta mengamalkan nilai-nilai yang sudah tertera dengan jelas di dalam pancasila yang dijadikan sebagai falsafah dan dasar hidup bangsa Indonesia. Dengan keunikan inilah, Indonesia menjadi suatu bangsa yang tidak dapat disamakan dengan bangsa lain dan itu semua tidak akan pernah lepas dari tanggung jawab dan perjuangan dari warga Indonesia itu sendiri untuk tetap menjaga nama baik bangsanya.

puisi Q....


CINTA YANG HILANG

Judul : Mencari Belahan Jiwa
Penulis : Ifa Avianti
Penerbit : Gema Insani
Cetakan : November 2006 ( cetakan pertama )
Tebal : 202 halaman
Cerpen ini menceritakan tentang seorang istri dari Satria, dan seorang ibu dari tiga orang anak yaitu Aziz, Naura dan Sofwan yang mempunyai kelainan bawaan yaitu autis, istri shalehah itu bernama Vedha. Berawal dari teman semasa kecil Vedha yang biasa dipanggil Ve menjadi istri Satria. Ve bersahabat dengan adik Satria, yang bernama Uci. Usia Ve satu tahun lebih muda dari Satria dan seumur dengan Uci. Saat mereka masih kecil mereka selalu bersama, Satria adalah pelindung bagi Ve dan Uci. Namun, kebersamaan itu hanya sampai SMU, setelah Satria masuk Rohis dan dia menjadi Ikhwan. Namun Ve dan Uci tak kehilangan teman mereka mendapatkan 10 orang sahabat sekaligus yang sangat mererti mereka satu sama lain. Diantara para sahabat-sahabatnya itu, hanya Ve yang belum mengenakan jilbab. Ve masih ingin menjadi anggota OSIS, Cherleder, KIR dan lain sebagainya.
Di sekolah mereka, mengenakan jilbab adalah melanggar peraturan. Namun suatu hari, Ve berbicara pada teman-temannya bahwa ia akan mengenakan jilbab. Dan setelah Ve mengenakan jilbab banyak sekali masalah yang ditimbulkan karenanya. Untuk itu, Ve kabur bersama Uci dan Satria. Satria menjadi orang yang dingin dan cool. Setelah masalah selesai Ve dan Uci kembali ke rumah masing-masing dan meneruskan hidup mereka, dan tak lama setelahnya, Satria berbicara pada Ve bahwa ia dan Ve telah dijiodohkan sedari kecil oleh kedua orang tuanya. Entah mengapa hati Satria sangat bimbang dan akhirnya tujuh tahun setelahnya barulah Satria menikahi Ve. Padahal dulu ada rasa cinta pada hati Satria untuk Ve, tetapi mengapa semua itu sedikit demi sedikit menghilang.
Keluarga kecil mereka sangatlah rukun, tetapi begitu sunyi.Ve adalah istri yang tegar dan mandiri, ia berusaha menjadi yang terbaik bagi keluarganya, namun itu bukan keinginan Satria. Sampai suatu saat, Satria berkenalan dengan Bening di chat room. dan berlanjut. Satria tak pernah bertemu Bening, mendengar suaranya pun belum. Namun ada perasaan sejuk apabila Satria memulai percakapan dengan Bening. Ada perbedaan pada diri Bening dan Ve, Satria ingin menolk semua rasa ini, dan ia beranikan untuk bertemu dengan Bening… apa yang akan terjadi pada rumah tangga Ve dan Satria?? Siapakah sebenarnya Bening itu?? Masih ada cerpen-cerpen selain cerpen diatas, diantaranya adalah “Aku Jatuh Cinta Lagi” yang menceritakan tentang sepasang suami istri yang sangat sibuk sehingga tidak punya waktu untuk berdua, “Reunion Potpouri” menceritakan tentang seorang anak bangsawan Jawa yang menikah denagn rakyat biasa dan dikucilkan oleh keluarga besarnya, “Jodoh Alin” yaitu menceritakan tentang seorang kaka angkat yang mencarikan jodoh untuk Alin, serta masih ada lagi cerita-cerita yang dapat kita baca dalam buku kumpulan cerpen ini.
Banyak persamaan antara cerita satu dan lainnya, yaitu mengenai masalah suami dan istri. Tetapi cerita yang ditampilkan beragam, mulai dari yang selingkuh, sampai suami yang dingin. Cerpen-cerpen dalam buku ini bisa dijadikan tuntunan agar kita bisa membina keluarga dengan baik, menjadi istri yang shalehah bagi suami, serta suami yang harus menyayangi istrinya. Namun, cerpen-cerpen ini mempunyai kekurangan dalam segi bahasa, bahasanya terlalu bertele-tele dan sulit dimengerti. Buku kumpulan cerpen ini cocok dibaca untuk kalangan yang sudah berumah tangga atau sudah dewasa. Karena, bagi anak muda, segi bahasanya sulit untuk dimengerti. Tetapi, dari keseluruhan cerita apabila dibaca dengan seksama, banyak sekali pesan dan amanat dari penulis yang sangat berarti apabila kita akan melangkah ke taraf pernikahan.

Monday, October 11, 2010

LISTENING

UNDERSTANDING Listening“Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang lisan-lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi, serta memahami makna komunikasi yang tidak disampaikan oleh si pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan”. (Tarigan: 1983)

Menyimak adalah suatu proses yang mencakup kegiatan mendengarkan bunyi bahasa, mengidentifikasi, menginterpretasikan, dan mereaksi atas makna yang terkandung di dalamnya”. (Sabarti –at all: 1992)

THE TYPES Listening :
Ekstensif: umum –tidak perlu bimbingan
Macamnya: menyimak sosial, sekunder, estetik, dan pasif.
Intensif: di bawah pengawasan gurum
macamnya yaitu Menyimak kritis, konsentratif, kreatif, eksploratif.
Interogatif: lebih fokus
Selektif: melengkapi menyimak pasif.
Atentif: menjawab singkat kepada lawan bicara

Listening TEACHING TECHNIQUES :Dengar-Ucap Dengar-Terka
Dengar-jawabDengar-Tanya
Dengar-Sanggah Dengar-Cerita
Dengar-Suruh Dengar-Larang
Dengar-Teriak Dengar-Setuju
Dengar-Bisik Berantai Dengar-Baca
Dengar-Rangkum Dengar-Peringatan
Dengar-Lengkapi Dengar-Kerjakan
Dengar-Lakukan Dengar-Simpati
Dengar-Kata Opik Dengar-Temukan Benda/Objek

Listening IMPROVEMENT PRINCIPLES :Tatap Muka
Fokus Pada Makna dan Bahan Penting serta Baru
Kegiatan Pemahaman
Kecermatan dan Analisis Bentuk

DAFTAR PUSTAKA
Tarigan, H. (1983). MenyimakSebagaiSuatuKeterampilanBerbahasa. Bandung: Angkasa
Sabarti, et al. (1992). BahasaIndonesia 1. Jakarta: DEPDIKBUD.
Nunan, D. (1991). Language Teaching Methodology. Hertfordshire: PrenticHall International

ANTROPOLOGI

Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.

Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut:

* William A. Haviland

Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.

* David Hunter

Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.

* Koentjaraningrat

Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.

Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.

Sejarah

Seperti halnya Sosiologi, Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya.

Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:

Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)

Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnogragfi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.

Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.

Fase Kedua (tahun 1800-an)

Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya

Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

Fase Ketiga (awal abad ke-20)

Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.



Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.

Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.

Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.

Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.