Sunday, May 15, 2011

Pembunuhan terhadap sang kekasih


Kasus pembunuhan Amanda memasuki babak persidangan. Terdakwa pun mengaku bersalah dan ingin mengunjungi pusara kekasihnya. Ikuti pengakuannya.
Kasus pembunuhan Amanda Devina (22) dengan pelaku Ronald Johannes Posma Aroean (24) beberapa waktu lalu, menarik perhatian masyarakat. Kasus ini sudah tiga kali disidangkan Pengadilan Negeri (PN) Cibinong. Dalam sidang yang berlangsung, Selasa (7/12) silam, majelis hakim yang diketuai H. Andi Samsan Nganro, S.H., MH, dalam putusan sela menolak eksepsi yang diajukan oleh Ronald pada sidang sebelumnya.

Majelis hakim dalam putusannya mengungkapkan, keberatan penasihat hukum terdakwa yang menilai surat dakwaan tidak jelas, tidak cermat, dan tidak lengkap, tidak beralasan. "Dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) justru sudah memenuhi pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP. Surat dakwaan sudah lengkap," ujar Andi Samsan Nganro.

Ronald yang ditahan sejak Selasa (3/8) didakwa telah melakukan pembunuhan terhadap Amanda Devina, mahasiswi Fakultas Teknik Elektro Telekomunikasi Universitas Trisakti, Jakarta. Pembunuhan itu berlangsung Rabu (28/7) silam di rumah Ronald di Perumahan Jatijajar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok (Jabar).

Oleh sebab itu, JPU Toni Spontana, S.H., dari Kejaksaan Negeri Kota Depok memberi dakwaan kumulatif, primer pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dan diancam hukuman maksimal hukuman mati. Sementara dalam dakwaan subsider, Ronald didakwa pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa. Dalam dakwaan dijelaskan Ronald, telah menyembunyikan mayat korban dan mendakwanya dengan pasal 181 KUHP.

Seperti sidang sebelumnya, hari itu Ronald mengenakan setelan baju putih dan celana hitam. Ia dengan seksama mendengar setiap kalimat amar putusan sela yang dibacakan majelis hakim secara bergantian. Hadir juga dalam persidangan, orang tua Amanda, pasangan Sapto Hartoyo dan Sri Andiani. Tampak pula, Ny. Purnama br. Simanjuntak, ibunda Ronald.

MENGAKU TIDAK MERENCANAKAN
Di tempat terpisah, Ronald mengaku terpukul mendengar putusan sela majelis hakim yang menolak eksepsinya. "Tentu saja pikiran saya sangat kalut. Yang jelas, saya masih bingung. Mereka juga menolak permintaan saya untuk mengunjungi pusara Amanda. Saya hanya bisa berdoa agar Tuhan menunjukkan jalan terbaik," ujar anak kedua pasangan Djudjung MP. Aroean dan Purnama br. Simanjuntak ini.
Ronald mengaku belum bisa membayangkan seandainya kelak hakim memutuskan pasal 340 KUHP yang didakwakan padanya terbukti. "Apa yang saya lakukan bukan pembunuhan berencana. Saya memang membunuh, tapi tidak saya rencanakan. Mestinya saya didakwa dengan pasal 338 KUHP tentang pembunuhan tanpa rencana," kilah Ronald.
Mengutip penjelasan pengacaranya Juniver Girsang, S.H., MH, Ronald mengatakan, untuk pasal 340 KUHP mestinya harus ada unsur waktu, alat, dan sebagainya. "Dalam kejadian yang saya alami, semua itu tidak ada. Kejadiannya pun begitu singkat, sebagaimana yang saya lukiskan dalam eksepsi."

Kalau ayah Amanda ngotot mengatakan bahwa peristiwa itu terencana, Ronald mengatakan hak Sapto Hartoyo untuk mengatakan demikian. "Tapi, yang ada saat kejadian hanya saya. Saat itu saya memang panik. Namun, tidak ada hubungan antara kepanikan itu dengan kehamilan dia. Sedikit pun saya tidak ada rencana untuk membunuh Amanda."

Ronald mengungkapkan, memang banyak tanggapan yang menyudutkan dirinya. "Ada yang bilang, saya panik karena Amanda hamil, lalu membunuhnya. Ada pula yang mengatakan saya ini pembunuh berdarah dingin. Saya tidak bisa melarang mereka punya anggapan seperti itu. Nanti saja tunggu sampai usai persidangan. Saya tidak mau mendahului pengadilan," papar Ronald yang berkali-kali mengatakan tidak berniat membunuh Amanda.

SIAP TERIMA HUKUMAN

Ronald enggan mengomentari kronologis pembunuhan terhadap Amanda. "Saya tidak mau lagi mengungkit masalah itu. Soal berapa lama dan kenapa saya harus mencekik, nantilah saya jawab di pengadilan. Kejadian itu cukup menyakitkan bagi saya dan bagi keluarga besar Pak Sapto."

Bila ingat seputar kejadian tersebut, Ronald mengaku dirinya tidak tenang. "Sejak pertama kali datang di Lembaga Pemasyarakatan, banyak orang bertanya tentang kasus tersebut. Saya hanya bilang, sudahlah enggak usah dibahas. Di sini, saya ingin lebih tenang," ujar Ronald.

Apalagi sejak kejadian tersebut, Ronald selalu dihantui bayang-bayang Amanda yang sering hadir dalam pikiran dan mimpinya. Itu sebabnya, ia mengajukan permohonan pada hakim agar diizinkan mengunjungi pusara kekasihnya.

Menurut Ronald, ia juga merasa kehilangan Amanda. "Saya pun mencintai dia. Cinta saya kepadanya bukan sekadar karena dia cantik atau apa, melainkan saya merasa cocok dengan dia. Saya ingin meminang dia, tetapi keburu kejadian itu menimpa kami," ujar Ronald sambil terus menunduk.

Ronald juga membantah dirinya pernah melarang Amanda untuk membeberkan hubungan mereka kepada Sapto dan Sri Andiani. "Setahu saya, mereka sudah tahu. Saya, kan, sering mengunjungi Amanda di rumahnya dan diketahui oleh orangtuanya," ujar Ronald yang mengaku bersalah.

Oleh sebab itu, Ronald siap menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. "Saya sudah mengakui bersalah, saya menyesal. Tapi, saya terlebih dulu mohon agar dimaafkan oleh keluarga Pak Sapto. Saya mau menjalani hukuman berapa pun. Kalau mereka tidak memaafkan, saya tidak tenang menjalani hukuman itu," katanya.

Menurut Ronald, upaya untuk memohon maaf kepada keluarga Sapto sudah dilakukan saat jumpa pers di Mapolres Jakarta Barat, Selasa (3/8). "Secara pribadi saya juga sudah minta maaf pada Pak Sapto, tapi kurang mendapat tanggapan. Jadi, tidak benar, saya baru minta maaf saat sidang eksepsi kemarin. Namun, kalau Pak Sapto mengatakan tidak pernah, saya bisa memahami sebab setiap orang berhak mengutarakan pendapatnya."

BELAJAR MENAHAN DIRI
Sambil menjalani proses pengadilan, Ronald yang ditahan di LP Bogor, mengaku banyak mengambil hikmah dari kasus ini. "Di sini saya belajar menahan diri. Sudah cukup bagi saya merasakan jeleknya menjadi orang yang tidak bisa menahan diri. Karena saya enggak bisa menahan emosi, enggak bisa bersabar, saya dapat beban dan masalah," ujar Ronald dengan suara melemah.

Di tahanan, kata Ronald, harus pandai-pandai bergaul dan tetap memelihara komunikasi dengan sesama penghuni LP lainnya. "Semula mereka banyak menanyakan soal kasus yang saya alami. Kami memang saling berbagai cerita. Selanjutnya kami saling mendoakan. Dengan begitu perasaan menjadi tenang."

Yang paling membuat Ronald berbesar hati, para sahabat dan orangtuanya terus memberinya semangat. "Mereka yang tahu persis siapa saya sebenarnya selalu mengatakan, 'Kamu sudah bersalah. Untuk itu kamu harus bertobat.' Ibu saya juga menganjurkan hal yang sama."

Kembali Ronald menundukkan wajah. Ia tak bisa membayangkan, sampai kapan melewati hari-harinya di balik jeruji besi.

BUKAN PEMBUNUHAN BERENCANA
Menanggapi putusan sela tersebut, tim pengacara Ronald mengatakan pihaknya merasa keberatan. "Kami akan mengajukan banding karena pasal dengan unsur pembunuhan berencana memberatkan klien kami," ujar Firma Uli Silalahi, S.H.
Kuasa hukum Ronald yang lain, Juniver Girsang, S.H, MH, mengungkapkan, dakwaan pembunuhan berencana tidaklah benar. Waktu itu, Ronald panik karena Amanda minta Ronald bertanggung jawab atas kehamilannya yang sudah menginjak minggu ke-20.
"Mereka pun cekcok. Ketika Amanda berteriak, Ronald khawatir teriakan Amanda terdengar tetangganya. Tanpa sadar dia membekap mulut Amanda yang meronta-ronta. Lalu, dia mengambil bantal untuk menutupi wajah Amanda, menutup mulut, dan mencekik," papar Juniver.
Ketika Ronald membuka bantal, lanjut Juniver, Amanda sudah tak bergerak lagi dengan keadaan lidah sudah menjulur. "Secara hukum kami melihat kejadian itu sifatnya insidentil karena dalam keadaan panik. Jadi, bukan seperti dakwaan jaksa bahwa kejadian tersebut direncanakan."

Argumentasi Juniver, perencanaan itu harus dimulai dengan peralatan, waktu, dan kesempatannya harus berkelanjutan dan sesuai. "Artinya harus ada tenggang waktu antara rencana dan pelaksanaan. Nah, dalam kejadian tersebut hal itu tidak ada. Alat yang disiapkan pun tidak ada," ujar Juniver.

Satu hal lagi disodorkan Juniver yakni pertemuan di rumah Ronald adalah keinginan Amanda. "Tadinya, mereka berencana bertemu di rumah Amanda untuk membicarakan masalah mereka. Namun, di rumah Amanda ada adik dan pembantunya. Amanda pun bilang, pertemuan itu lebih baik di rumah Ronald."

Juniver juga mengatakan, Ronald sebenarnya mau bertanggung jawab. Terbukti dalam proses berunding, mereka pergi berobat ke klinik beberapa kali, dan bertemu dokter. "Bahkan, saking perhatiannya terhadap kehamilan Amanda, mereka sudah memeriksakan toksoplasma, yaitu penyakit yang berasal dari hewan piaraan yang bisa menyebabkan janin cacat," katanya.

Masih kata Juniver, kliennya juga memahami kepedihan keluarga Amanda.

Itu sebabnya, Ronald berkali-kali minta maaf dan diizinkan mengunjungi pusara Amanda. "Dalam eksepsinya Ronald juga menyampaikan unek-uneknya selama ini. Harapan Ronald, perbuatannya bisa dimaafkan."

Ibunda Amanda Masih Trauma
TAKUT JIKA KETEMU ORANG BERKEPALA BOTAK

Sudah empat bulan peristiwa pembunuhan Amanda Devina (22) berlalu. Namun, kesedihan dan trauma belum hilang dari benak Sri Andiani (47), ibu Amanda. Akibatnya, ia jadi makin protektif terhadap adik Amanda. Berikut petikan wawancaranya.
Apa yang Ibu rasakan setelah perginya Amanda?
Saya merasakan banyak sekali perubahan dalam keluarga sepeninggal Amanda. Misalnya, kalau melihat mahasiswa yang mengenakan tas punggung, jins, kaus, dan sepatu kets, saya langsung teringat Amanda. Saya pikir anak saya seperti itu. (Anik menangis sesunggukan beberapa saat).

Buat saya sendiri, saat ini saya merasa ketakutan kalau bertemu dengan lelaki yang kepalanya botak mirip Ronald. Perasaan yang sama juga dirasakan suami saya, Sapto Hartoyo. Dia kelihatannya saja tabah, namun sebenarnya dia sering menangis kalau kami sedang berdua.

Meski sudah empat bulan sejak kematiannya, mobil Amanda pasti dikeluarkan oleh ayahnya saban pagi. Mesinnya dipanasin, body-nya dilap setiap jam 5 pagi. Semua dilakukan seolah-olah Amanda masih hidup. Soalnya, semasa Amanda masih ada, urusan mobil sudah menjadi tanggung jawab ayahnya.

Bagaimana suasana Lebaran kemarin tanpa putri tercinta?
Sungguh sangat berbeda. Biasanya kami sahur dan buka puasa bersama. Kini kami hanya bertiga. Saya, suami, dan Fitri, adik Amanda. (Sapto dan Anik spontan terdiam beberapa saat. Mereka tidak sanggup mengungkapkan kegetiran akibat perginya Amanda dengan cara mengenaskan, Juli silam). Sudahlah, Anda pasti sudah memahami bagaimana hancurnya perasaan kami saat Lebaran kemarin. (Anik berulang kali menunduk sambil berlinang air mata. Setelah terdiam beberapa saat, Anik melanjutkan ceritanya yang begitu getir.)

Lebaran kemarin kami sengaja pergi ke Bandung. Persisnya ke Jalan Asia Afrika, tempat jasad Amanda ditemukan di dalam mobilnya. Tujuan kami mengirim doa untuk Amanda. Lokasi itu lumayan ramai dan banyak bengkel. Ternyata orang-orang di sekitar itu masih ingat Amanda. Ketika saya tanyakan dimana mobil Amanda ditemukan, mereka mengatakan, "Persis di tempat mobil Ibu parkir." Saya sempat terhenyak.
Tampaknya Ibu begitu sulit melupakan Amanda?
Tentu saja. Bahkan, saya sering melamun tentang Amanda, seolah dia masih hidup dan berada di tengah-tengah kami. Semua jelas sekali, bahkan sejak dia lahir, 11 Oktober 1982. Sejak bayi dia tumbuh sehat dan ASI jalan terus. Lihat foto-foto ini (Anik menunjukkan foto-foto Amanda semasa bayi dan balita.)

Sekitar 4,5 tahun kemudian, adiknya, Fitri, lahir. Sebagai anak sulung Amanda, biasa kita panggil Kakak. Amanda dan Fitri tumbuh sehat. Mereka berdua selalu kompak sejak kecil. Kalau saya melakukan tugas kantor ke luar kota, Amanda dan Fitri sering saya ajak. Meski masih anak-anak, mereka tidak terlalu merepotkan saya dalam bekerja. Saya cukup memberi buku bacaan, mereka sudah tenang hingga saya selesai bekerja. Pokoknya menyenangkan. Apalagi semasa sekolah dia selalu dapat ranking 5 besar.
Apa yang disukai mendiang semasa masih ada?
Oh dia paling senang kalau diajak bolos kuliah, terutama menjelang akhir tahun. Kami, kan, sering bepergian pada akhir tahun, tetapi kebetulan kuliahnya tidak libur. Saat saya minta bolos, dia pasti kegirangan. "Kak, besok bolos saja, ya. Saya mau ajak jalan-jalan." Amanda langsung berjingkrak senang. "Asyik, mau kemana, Bu?"

Sekeluarga sering pergi bersama-sama, ya?
Begitulah. Kalau lagi sama-sama libur seperti menyambut Tahun Baru, kami berempat berangkat bersama-sama. Namun, kalau ayahnya sedang tugas di luar kota, kami berangkat bertiga. Saya dan Amanda sering jalan bareng, kok. Kalau dia menghadiri acara, misalnya ulang tahun temannya, saya akan menemani.

Waktu kampusnya ada acara inagurasi di Puncak, saya dan bapaknya pasti ikut nungguin. Tak jarang kami sampai ngantuk-ngantuk di mobil. Bukannya kami tidak percaya sama dia, tetapi kami beranggapan, lebih baik repot sejak awal dari pada kelak ada apa-apa. Makanya dia sering diejek temannya, malam Minggu, kok, pergi sama mamanya. Dia dengan cuek menjawab, "Lebih enak, sih."

Itu sebabnya, Prima Widyaputri, salah satu teman akrab Amanda, kalau pamitan kepada orangtuanya cukup mengatakan mau pergi sama Amanda. Sudah pasti diizinkan. Soalnya, orang tuanya tahu, saya pasti menemani mereka. Saya pun ikut ngantar Amanda dan Prima. Pokoknya saya selalu memantau siapa saja teman-teman Amanda. Tak jarang saya mentraktir mereka makan.
Apa beda sifat Amanda dengan adiknya?
Fitri lebih serius, terutama soal sekolah. Kalau diajak pergi, Fitri enggak pernah mau, berbeda dengan Amanda yang langsung ayo saja. Suatu ketika suami saya mau ke Semarang untuk menghadiri peringatan 40 hari meninggalnya orang tua kami. Ketika diajak, Fitri enggak mau. Sebaliknya, Amanda langsung protes, "Kok, saya enggak diajak?"

Amanda lebih dekat Ibu atau Bapak?
Sama saja, kok. Kepada saya Amanda dekat, sama ayahnya juga akrab.

Menu masakan apa yang disukai Amanda?
Amanda suka makanan apa saja, terutama fastfood, sehingga kami pun sering mengunjungi restoran fastfood. Uniknya, entah kenapa, kalau diminta untuk bantu-bantu di dapur, biasanya Amanda langsung mengelak. "Ah, aku mau bantu makan aja, deh, Bu."

Amanda, kan, kuliah di Fakultas Teknik yang kebanyakan temannya lelaki. Ibu enggak khawatir?

Oh, teman-temannya sangat melindungi Amanda. Misalnya, kalau mobil Amanda mogok, mereka mau membantu atau nungguin. Mereka juga pada datang ke rumah ketika ulang tahun Amanda, 11 Oktober lalu.

Saya enggak khawatir karena keseharian Amanda kalau enggak di rumah ya di kampus, sehingga sahabatnya pun kebanyakan teman sekampus. Tidak ada anak preman yang tidak jelas. Makanya, ketika terbersit berita bahwa Amanda hamil sama orang lain, saya enggak percaya. Soalnya dia selalu ngomong, ngobrol, dan bepergian sama saya.

Kalau saya pulang kerja kebetulan dia juga mau pulang, dia sering menjemput saya di kantor, lalu kami pulang sama-sama. Saya pun beberapa kali ke kampus Trisakti kalau ada keperluan dengan Amanda. Tak jarang pula teman-teman sekuliah Amanda yang tinggal di Bintaro ikut satu mobil dengan kami. Makanya semua teman Amanda saya kenal, termasuk Ronald.


No comments:

Post a Comment