Nama Pekanbaru dahulunya dikenal dengan
nama “Senapelan” yang saat itu dipimpin oleh seorang Kepala Suku
disebut Batin. Daerah ini terus berkembang menjadi kawasan pemukiman
baru dan seiring waktu berubah menjadi Dusun Payung Sekaki yang terletak
di muara Sungai Siak.
Pada tanggal 9
April tahun 1689, telah diperbaharui sebuah perjanjian antara Kerajaan
Johor dengan Belanda (VOC) dimana dalam perjanjian tersebut Belanda
diberi hak yang lebih luas. Diantaranya pembebasan cukai dan monopoli
terhadap beberapa jenis barang dagangan. Selain itu Belanda juga
mendirikan Loji di Petapahan yang saat itu merupakan kawasan yang maju
dan cukup penting.
Karena kapal
Belanda tidak dapat masuk ke Petapahan, maka Senapelan menjadi tempat
perhentian kapal-kapal Belanda, selanjutnya pelayaran ke Petapahan
dilanjutkan dengan perahu-perahu kecil. Dengan kondisi ini, Payung
Sekaki atau Senapelan menjadi tempat penumpukan berbagai komoditi
perdagangan baik dari luar untuk diangkut ke pedalaman, maupun dari
pedalaman untuk dibawa keluar berupa bahan tambang seperti timah, emas,
barang kerajinan kayu dan hasil hutan lainnya.
Terus
berkembang, Payung Sekaki atau Senapelan memegang peranan penting dalam
lalu lintas perdagangan. Letak Senapelan yang strategis dan kondisi
Sungai Siak yang tenang dan dalam membuat perkampungan ini memegang
posisi silang baik dari pedalaman Tapung maupun pedalaman Minangkabau
dan Kampar. Hal ini juga merangsang berkembangnya sarana jalan darat
melalui rute Teratak Buluh (Sungai Kelulut), Tangkerang hingga ke
Senapelan sebagai daerah yang strategis dan menjadi pintu gerbang
perdagangan yang cukup penting.
Perkembangan
Senapelan sangat erat dengan Kerajaan Siak Sri Indra Pura. Semenjak
Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah menetap di Senapelan, beliau membangun
Istana di Kampung Bukit dan diperkirakan Istana tersebut terletak
disekitar lokasi Mesjid Raya sekarang. Sultan kemudian berinisiatif
membuat pekan atau pasar di Senapelan namun tidak berkembang. Kemudian
usaha yang dirintis tersebut dilanjutkan oleh putranya Raja Muda
Muhammad Ali yang bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah
meskipun lokasi pasar bergeser di sekitar Pelabuhan Pekanbaru sekarang.
Akhirnya
menurut catatan yang dibuat oleh Imam Suhil Siak, Senapelan yang
kemudian lebih popular disebut Pekanbaru resmi didirikan pada tanggal 21
Rajab hari Selasa tahun 1204 H bersamaan dengan 23 Juni 1784 M oleh
Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah dibawah pemerintahan Sultan
Yahya yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru.
Sejak
ditinggal oleh Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah, penguasaan
Senapelan diserahkan kepada Datuk Bandar yang dibantu oleh empat Datuk
besar yaitu Datuk Lima Puluh, Datuk Tanah Datar, Datuk Pesisir dan Datuk
Kampar. Mereka tidak memiliki wilayah sendiri tetapi mendampingi Datuk
Bandar. Keempat Datuk tersebut bertanggungjawab kepada Sultan Siak dan
jalannya pemerintahan berada sepenuhnya ditangan Datuk Bandar.
Selanjutnya perkembangan tentang pemerintahan di Kota Pekanbaru selalu mengalami perubahan :
- SK
Kerajaan Bershuit van Inlandsch Zelfbestuur van Siak No. 1 tanggal 19
Oktober 1919, Pekanbaru bagian dari Kerajaan Siak yang disebut District.
- Tahun 1932 Pekanbaru masuk wilayah Kampar Kiri dipimpin oleh seorang Controleor berkedudukan di Pekanbaru.
- Tanggal 8 Maret 1942 Pekanbaru dipimpin oleh seorang Gubernur Militer Go Kung, Distrik menjadi GUM yang dikepalai oleh GUNCO.
- Ketetapan
Gubernur Sumatera di Medan tanggal 17 Mei 1946 No. 103, Pekanbaru
dijadikan daerah otonom yang disebut Haminte atau Kota B.
- UU No.22 tahun 1948 Kabupaten Pekanbaru diganti dengan Kabupaten Kampar, Kota Pekanbaru diberi status Kota Kecil.
- UU No.8 tahun 1956 menyempurnakan status Kota Pekanbaru sebagai Kota Kecil.
- UU No.1 tahun 1957 status Pekanbaru menjadi Kota Praja.
- Kepmendagri No. 52/1/44-25 tanggal 20 Januari 1959 Pekanbaru menjadi Ibukota Propinsi Riau.
- UU No.18 tahun 1965 resmi pemakaian sebutan Kotamadya Pekanbaru.
- UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebutan Kotamadya berubah menjadi Kota Pekanbaru.
PEKANBARU SEBAGAI IBU KOTA PROPINSI RIAU
Berdasarkan
Penetapan Gubernur Sumatera di Medan No 103 tanggal 17 Mei 1956, Kota
Pekanbaru dijadikan Daerah Otonomi yang disebut Harminte (kota Baru)
sekaligus dijadikan Kota Praja Pekanbaru.
Dan
pada tahun 1958, Pemerintah Pusat yang dalam hal ini Kementerian Dalam
Negeri RI mulai menetapkan ibukota Provinsi Riau secara permanen.
Sebelumnya Kota Tanjung Pinang Kepulauan Riau ditunjuk sebagai ibu kota
propinsi hanya bersifat sementara. Dalam hal ini Menteri Dalam Negeri RI
telah mengirim surat kawat kepada Gubernur Riau tanggal 30 Agustus 1958
No. Sekr. 15/15/6.
Untuk menanggapi
maksud surat kawat tersebut, dengan penuh pertimbangan yang dapat
dipertanggungjawabkan, maka Badan Penasehat meminta kepada Gubernur
supaya membentuk suatu Panitia Khusus. Dengan Surat Keputusan Gubernur
Kepala Daerah Swatantra tingkat I Riau tanggal 22 September 1958 No.
21/0/3-D/58 dibentuk panitia Penyelidik Penetapan Ibukota Daerah
Swantantra Tingkat I Riau.
Panitia
ini telah berkeliling ke seluruh daerah di Riau untuk mendengar pendapat
pemuka masyarakat, penguasa Perang Riau Daratan dan Penguasa Perang
Riau Kepulauan. Dari angket langsung yang diadakan panitia tersebut,
maka diambillah ketetapan bahwa kota Pekanbaru terpilih sebagai ibukota
Propinsi Riau. Keputusan ini langsung disampaikan kepada Menteri Dalam
Negeri RI. Akhirnya tanggal 20 Januari 1959 dikeluarkan Surat Keputusan
dengan No. Des 52/1/44-25 yang menetapkan Pekanbaru sebagai ibukota
Provinsi Riau sekaligus Pekanbaru memperoleh status Kotamadya Daerah
Tingkat II Pekanbaru.
Untuk
merealisasi ketetapan tersebut, pemerintah pusat membentuk Panitia
Interdepartemental, karena pemindahan ibukota dari Tanjungpinang ke
Pekanbaru menyangkut kepentingan semua Departemen. Sebagai pelaksana di
daerah dibentuk suatu badan di Pekanbaru yang diketuai oleh Penguasa
Perang Riau Daratan Letkol. Kaharuddin Nasution.
Sejak
itulah mulai dibangun Kota Pekanbaru dan untuk tahap pertama
mempersiapkan sejumlah bangunan dalam waktu singkat agar dapat menampung
pemindahan kantor dan pegawai dari Tanjungpinang ke Pekanbaru.
Sementara persiapan pemindahan secara simultan terus dilaksanakan,
perubahan struktur pemerintahan daerah berdasarkan Panpres No. 6/1959
sekaligus direalisasi.
Gubernur
Propinsi Riau Mr. S. M. Amin digantikan oleh Letkol Kaharuddin Nasution
yang dilantik digedung Sekolah Pei Ing Pekanbaru tanggal 6 Januari 1960.
Karena Kota Pekanbaru mempunyai gedung yang representatif, maka
dipakailah gedung sekolah Pei Ing untuk tempat upacara.
Admisnistrasi Pemerintahan KOTA PEKANBARU
Sebelum
tahun 1960, Pekanbaru hanyalah kota dengan luas 16 km2 yang kemudian
bertambah menjadi 62.96 km2 dengan 2 kecamatan yaitu Kecamatan Senapelan
dan Kecamatan Limapuluh. Selanjutnya pada tahun 1965 bertambah menjadi 6
kecamatan dan tahun 1987 menjadi 8 kecamatan dengan luas wilayah 446.50
km2.
Dengan meningkatnya kegiatan
pembangunan menyebabkan meningkatnya kegiatan penduduk disegala bidang
yang pada akhirnya meningkatkan pula tuntutan dan kebutuhan masyarakat
terhadap penyediaan fasilitas dan utilitas perkotaan serta kebutuhan
Lainnya.
Untuk lebih terciptanya
tertib pemerintahan dan pembinaan wilayah yang cukup luas, maka
dibentuklah Kecamatan Baru dengan Perda Kota Pekanbaru No. 4 Tahun 2003
menjadi 12 Kecamatan dan Kelurahan/Desa baru dengan Perda tahun 2003
menjadi 58 Kelurahan/Desa.